Pernikahan dalam persfektif Ritual dan Sosial
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan sebagai khitab atau perintah Allah dan Rosulullah kepada
umatnya merupakan sebuah perintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
fitrah manusia, perintah untuk melangsungkan pernikahan tentu memiliki aturan tersendiri
yang menjadikan ikatan pernikahan antara seorang pria dan wanita dianggap sah
menurut aturan agama, sehingga pernikahan sebagai suatu ritual keagamaan
didalamnya terdapat aturan baku mengenai rukun dan syarat yang harus terpenuhi
agar akad pernihakahan itu sah.
Selain itu, pernikahan sebagai bentuk hubungan antara manusia habl
min naas, membuka pintu baru bagi pasangan pria dan wanita dalam hubungan rumah
tangga, keduanya memiliki porsi keduduakan, serta hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi dalam rumah tangga. Adanya pembagian hak dan kewajiban ini tentu
bertujuan untuk memperoleh cita-cita membangun keluarga yang bahagia, sakinah,
mawaddah, warohmah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang
bagaimana aturan-aturan yang harus dipenuhi agar suatu akad pernikahan dianggap
sah dalam perspektif ritual, dan menjelaskan tentang bagaimana hubungan hak dan
kewajiban bagi suami isteri dalam rumah tangga, demi mewujudkan keluarga yang
bahagia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
hukum pernikahan, dan tujuan pernikahan?
2.
Bagaimana
Pernikahan dalam Perspektif Ritual?
3.
Bagaimana
Pernikahan dalam Perspektif Sosial?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
hukum pernikahan dan tujuannya.
2.
Mengetahui
Pernikahan dalam Perspektif Ritual.
3.
Mengetahui
Pernikahan dalam Perspektif Sosial.
BAB II
PERNIKAHAN
DALAM PERSPEKTIF RITUAL, DAN SOSIAL
A.
Pernikahan
1.
Pengertian
Pernikahan
Pernikahan
atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata
yakni nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan
sehari-hari orang Arab dan banyak
terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat
dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى
وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: dan
jika kamu merasa takut tidak akandapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan
yangyatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah dengan wanita-wanita
yang lain yang kamu senangi, dua,tiga atau empat.makajikakamu takut tidak akan
dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, maka kawinilah seorangsaja
ataukawinilah wanita-wanita yang kamu miliki. Demikian itu (beristeri satu)
adalah lebih tepat agar kamu tidak berbuat aniaya.[1]
Demikian pula
terdappatkata za-wa-ja dalam al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada
surat al-Ahzab ayat 37:
وَإِذْ
تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ
عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ
وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ
مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ
فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ
اللَّهِ مَفْعُولًا
Artinya: dan
(ingatlah) tatkala engkau berkata kepada orang yangtelah Allah memberikan
nikmat kepadanya dan kamu telah memberikan nikmat kepadanya (yaitu Zaid bin
Haritsah). “Tahanlah isterimu (jangan engkau ceraikan), sedang engkau menyimpan
dalamhati engkau apa yang Allah akan menampakkannya dan engkau takut kepada
manusia (yang berkata): “Muhammad mengawini bekas isteri anaknya. Padahal Allah
yang lebih patut engkau takuti. Setelah Zaid menunaukan hajatnya (telah bergaul
dengan perempuan itu, lali diceraikannya). Maka Kami kawinkan engkau dengan
perempuan itu (setelah habis iddahnya), supaya tidak ada kesulitan bagi
orang-orang mukmin untuk (mengawini) bekas isteri-isteri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari
mereka (isteri-isterinya). Dan ketetapan Allah itu pasti dijalankan.[2]
Secara bahasa
kata nikah berarti ‘bergabung’ (الضم), berhubungan kelamin (وطء) danjuga berarti
‘akad’ (عقد).
Adanya dua kemungkinan arti
ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung
dua arti tersebut. Kata nikah
yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 230:
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ
يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ
Artinya: maka
jika suami mentalak isterinya (sesudah dua kalitalak), maka wanita itu tidak
halal lagi baginya sesudah itu sehingga wanita (bekas isterinya) itu menikah
dengan suami selainnya. Maka jika ia mentalaknya, maka tak ada dosa bagi
keduanya (bekas suami pertama dan isteri) akan kembali lagi, jika mereka rasa
bahwa mereka dapat menegakkan aturan-aturan Allah. Dan itulah aturan-aturan
Allah: Ia menerangkannya kepadakaum yang mengetahui.[3]
Mengandung arti
hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari
hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua peremmpuan itu
belumboleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah
merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.
Tetapi dalam al-Qur’an
terdapat pula arti kata nikah dengan arti akad, seperti dalam firman Allah
surat an-Nisa ayat 22:
وَلَا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ
كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: dan
janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh bapamu,
kecuali yang telah lampau sesungguhnya perbuatan itu amat keji terkutuk dan
jalan yang salah.[4]
Ayat tersebut
di atas mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram
dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan akad nikah dengan perempuan
tersebut, meskipun diantara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.
Para ulama
berbeda dalam mengartikan nikah secara istilah, Ulama Hanafiyah mendefiniskan
nikah sebagai عقد يفيد ملك المتعة
قصدا
yang artinya Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki
menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja. Ulama Malikiyah mendefiniskan
nikah denganعقد على مجرد متعة
التلذذ بآدمية غير موجب قيمتها ببينة قبله غير عالم عاقده حرمتها ان حرمها الكتاب
على المشهور أو الإجماع على غير المشهور. Ulama Syafi’iyah mendefiniskan nikah sebagai
berikut: عقد يتضمن ملك وطء
بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما yang artinya, suatu akad atau perjanjan yang mengandung maksud
membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau taz-wij
atau lafadz yang yang maknanya sama dengan kedua lafadz tersebut. Sedangkan Ulama Hanbaliyah mengartikan nikah sebagai عقد بلفظ إنكاح أو تزويج على منفعة الاستمتاع yakni akad dengan lafadz na-ka-ha atau taz-wij
yang menyebabkan dibolehkannya mengambil manfaat kesenangan (istimta)
kepada seorang wanita.[5]
Adapun
pengertian perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah:
Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[6]
Amir
Syarifuddin menjelaskan bahwa, dari rumusan pasal diatas terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan, yakni: [7]
Pertama: digunakan kata:’seorang pria dengan seorang wainta’
mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda.
Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa negara.
Kedua: digunakannya ungkapan ‘sebagai suami istri’ mengandung arti
bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam
suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah ‘hidup bersama’.
ketiga: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan
dilakukan untuk memenuhi perintah agama.
Berdasarkan pengertian pernikahan diatas, dapat dipahami bahwa,
pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang
diikat dalam suatu akad untuk membangun keluarga yang bahagia berdasarkan
aturan-aturan dan ketentuan syari’at.
2.
Hukum
Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh
oleh Nabi. Banyak perintah-perintah Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan
perkawinan. Diantaranya firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ
وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: dan
kawinkanlah orang-orang yang tidak beristeri atau yang tidak bersuami diantara
kamu, dan orang-orang yang pantas (untuk dikawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka fakir,
Allah akan membuat mereka kecukupan dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas
pemberian-Nya lagi Maha bijaksana.[8]
Hadits Nabi dari Anas bin Malik diriwayatkan Ahmad dan disahkan
oleh Hibban, yakni:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ
الْوَلُودَ؛ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ بِكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ[9]
Artinya: Kawinilah
perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga
karenabanyak kaumdi hari kiamat.
Hadits
dari Abdullah bin Mas’ud
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ،
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّ
الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ[10]
Artinya: Wahai
para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dari segi ‘alba’ah’
hendaklahia kawin, karena perkawinanitu lebih menutup mata dari penglihatan
yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan.bila ia tidak mampu untuk kawiin hendaklah
ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu.
Amir Syarifuddin mengemukakan beberapa pendapat ulama dalam
menentukan hukum nikah. Ulama Syafi’iyah secara rinci menyakan hukum perkawinan
itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berkut:[11]
a.
Sunnah bagi
orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan
dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
b.
Makruh bagi
orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin,
sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada.begitu pula ia telah
mempunyai perlengkapan untuk kawin, namun fisiknya mengalami cacat seperti
impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka, dan kekurangan fisik lainnya.
Ulama Hanafiyah menambahan hukum secara khusus bagi keadaan dan
orang tertentu sebagai berikut:
a.
Wajib bagi
orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki
perlengkapan untuk kawin; ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak
kawin.
b.
Makruh bagi orang
pada dasarnya mampu melakukann perkawinan, namun ia merasa akan berbuat curang
dalam perkawinannya itu.
Ulama lain menambahkan hukum perkawinan secara khusus untuk keadaan dan orang tertentu
sebagai berikut:
a.
Haram bagi
orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan
perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’,
sedangkan ia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
b.
Mubah bagi
orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan
itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.
3.
Tujuan
Perkawinan
perkawinan
sebagai bentuk perjalan hidup manusia yeng penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan
dan ketuhanan, mengandung sejumlah tujuan dan faedah, sebagaimana yang telah
disebutkan oleh Nuruddin dalam kitab Ilmu Maqashid al-Syari’ah yang
diterjemahkan oleh Asep Arifin, sebagai berikut:[12]
a.
Memelihara dan
memperbanyak keturunan demi memakmurkan bumi, mengekalkan eksistensi manusia serta
memperkuat pondasi-pondasi kepemimpinan di muka bumi.
b.
Menjaga nasab
dan kehormatan dari ketidakjelasan dan percampuran bebas serta permainan. Anak
sebagai tujuan utama dari pernikahan dapat dipastikan kebenaran dengan adanya
hubungan keturunan antara induk dan anaknya.
c.
Mewujudkan
ketenangan, dan kasih sayang di antara suami istri, saling tolong menolong
dalam kebaikan dan takwa serat bergaul dengan baik daam beribadah kepada Allah
dan memakmurkan serta memperbaikinya sebagai lahan pertanian akhirat yang akan
dilaluinya.
d.
Membina keluarga
Islam dan mewujudkan masyarakat yang solih. Diantara tujuan nikah adalah
membina rumah tangga harmonis di antara anggota-anggotanya, yang mentaati Tuhannya
dan menjalankan segala aturannya sehingga dapat memberi sumbangsih dalam
mewujudkan masyarakat dan umat manusia yang ideal.
e.
Membersihkan
masyarakat dari berbagai penyakit biolgis dan dekadensi moral.
B.
Pernikahan
dalam Perspektif Ritual (Sahnya Akad)
Ritual
adalah kata sifat dari rites dan juga ada yang merupakan kata benda.
Sebagai kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan
dengan upacara keagamaan. Sedangkan sebagai kata benda adalah segala yang
bersifat upacara keagamaan. Adapun kaitannya pernikahan dalam perspektif ritual
adalah suatu ikatan lahir batin antara pihak suami dan istri ditinjau dari sah
atau batalnya akad pernikahan berdasarkan hukum atau aturan yang telah
ditetapkan oleh syara’. Perkawinan merupakan bentuk ibadah dan muamlah yang
didalamnya terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi, adapun unsur-unsur
tersebut adalah adanya rukun dan syarat nikah.
1.
Rukun
Nikah
Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun nikah. Ulama Hanafiyah menyatakan
bahwa rukun nikah itu hanya dua, yakni: (a) Ijab, yakni lafadz yang
diucapkan dari wali perempuan; dan (b) Qobul,yakni lafadz yang diucapkan oleh
pihak calon suami atau orang yang mewakilinya. Adapun rukun nikah menurut ulama
Malikiyah ada 5 macam, yakni: (a) wali calon istri, sehingga tidak sah jika
pernikahan dilakukan tanpa adanya wali; (b) mahar atau mas kawin, namun
pengucapan mahar dalam akad tidak menjadi syarat: (c) calon suami; (d) istri
beserta tidak adanya sesuatu yang menghalangi batalnya pernikahan seperti dalam
keadaan ihram, atau calon istri tersebut dalam keadaan iddah; (e) shighot.
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa tidak sah suatu pernikahan jika tidak
memenuhi 5 rukun, yakni: (a) suami; (b) istri; (c) wali; (d) dua saksi; (e)
sighot.[13]
2.
Syarat
Nikah
Undang-Undang
Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU Perkawinan
hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut
lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. KHI secara
jelas membicarakan rukun perkawinan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun
tersebut mengikuti fqih Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.
a.
Akad
nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
perkawinan dalam bentuk Ijab dan qabul. Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari
pihak kedua. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat
sebagai berikut:
1)
Akad
harus dimulai dengan Ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab
adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan
wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab al-Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak
laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki: “saya terima menikahi anak bapak
yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab al-Qur’an”.
2)
Materi
dari Ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si
perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3)
Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa
terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul
dari ucapan Ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek.
4)
Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat
membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditunjukkan
untuk selama hidup.
5)
Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas dan terus
terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunakan
lafadz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang harus dalam perkawinan
itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan seseorang.
b.
Laki-laki
dan Perempuan yang Kawin.
Syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki
dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut:
1)
Keduanya
jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya,baik menyangkut nama,
jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkaitan dengan dirinya.
2)
Keduanya
sama-sama beragama Islam.
3)
Antara
keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)
Kedua
belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan
mengawininya.
5)
Keduanya
telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
c.
Wali
dalam Perkawinan
Wali secara umum adalah seseorang
yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak teradap dan atas nama orang
lain, adapaun perwalian dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas
nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Orang yang menjadi wali bagi
calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut:
1)
telah
dewasa dan berakal sehat.
2)
Laki-laki
3)
Muslim
4)
Orang
merdeka
5)
Tidak
dalam pengampuan atau mahjur alaih
6)
Berpikiran
baik
7)
Adil
dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat
dosa kecil serta tetap memelihara muru’ah atau sopan santun.
8)
Tidak
sedang melakukan ihram.
d.
Saksi,
akad perniakahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian
hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad
dikemudian hari. Saksi dalam pernikahan
harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1)
Saksi
berjumlah paling kurang dua orang.
2)
Kedua
saksi itu adalah beragama Islam
3)
Kedua
saksi itu adalah orang yangmerdeka
4)
Kedua
saksi itu adalah laki-laki
5)
Kedua
saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan
tidakselalu melakukan dosa kecil dan tetap menjagamuru’ah.
6)
Keduasaksi
itu dapat mendengar dan melihat.
C.
Pernikahan
dalam Perspektif Sosial
“Pernikahan
dalam perspektif sosial akad nikah adalah suatu kontrak sosial dimana masing-masing
pihak suami dan isteri memiliki hak dan kewajiban, yang keduanya mengandung
implikasi hukum”.[14] Selain
itu, pernikahan juga merupakan suatu
cita-cita dalam membangun keluarga yang sakinah, yang di dalamnya terkandung
ketenangan, keamanan dan penuh kasih sayang. Keluarga sakinah merupakan suatu kondisi
yang sangat ideal dalam keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh
karena itu ia tidak terjadi mendadak,tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang
kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuuh waktu serta pengorbanan terlebih
dahulu. Ahmad Mubarok memberikan beberapa hal yang dapat mengantarkan pada
keluarga sakinah, yakni:[15]
1.
Dalam keluargaitu
ada mawaddah dan rahmah (QS/30:21). Mawaddah adalah jenis
cinta membara, yang menggebu-gebu dan “nggemesi”, sedangkan rahmah
adalah jenis cinta yang lembut, siap bekorban dan siap melindungi kepada yang
dicintai. Mawaddah saja kuang menjamin kelangsungan rumah tangga,
sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.
2.
Hubungan antara
suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang
memakainya (QS/2:187). Fungsu pakaian ada tiga, yaitu: (a) menutup aurat, (b)
melindungi diri dari panas dingin; dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan
sebaliknya harus memfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri
mempunyai suatu kekuarangan, suami tidak menceritakan kepada orang lain, begitu
juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawake
dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami,
suami juga harus selalu tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran
tampil menarik orang banyak, di rumah ‘nglombrot’ menyebalkan.
3.
Suami isteri
dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma’ruf),
tidak asal benar dan hak, (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya
harus memperhatikan nilai-nilai ma’ruf. Hal ini tertutama harus diperhatikan
oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4.
Menurut hadis
Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima (idza aradallohu bi ahli baitin
khoiron dst); (a) memiliki kecendrungan kepada agama, (b) yang muda
menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam
belanja, (d) santun dalam bergaul dan (e) selalu introspeksi.
5.
Menurut hadits
Nabi juga, empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga
(arba’un min sa’adat al-mar’i) yakni (a) suami/isteri yang setia (saleh/salehah),
(b) anak-anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat,dan (d) dekat
rizkinya.
Selain
membentuk keluarga sakinah, pernikahan juga membentuk sistem baru dalam
keluarga, dimana setiap komponen-komponen keluarga saling berhubungan sehingga
terbentuklah keluarga yang utuh, komponen keluarga tersebut adalah anggota
keluarga, dan setiap anggota keluarga memiliki peran penting dalam mewujudkan
keluarga yang ideal. Menurut Sofyan S.Willis didalam sistem keluarga terdapat
beberapa subsistem, yaitu:[16]
1.
Marital
Subsystem: merupakan sistem perkawinan antara
sepasang manusia yaitu suami dan isteri. Peranan utama perkawinan ialah untuk
mencapai kepuasan atas dasar cinta dan penghargaan (Terkelsen, 1980). Subsistem
ini mempunyai peran tersendiri dan jelas berbeda dengan peran seabgai orang tua
terhadap anak-anaknya. Marital Subsystem berkaitan dengan
perhatian masing-masing anggota pasangan suami isteri. Sedangkan subsistem
orang tua (parental subsystem) berkaitan dengan pola interaksi dalam
memberikan perhatian terhadap anak-anak mereka.
2.
Parental
Subsystem: yaitu subsistem keluarga yang
terdiri dari orang tua (ayah-ibu). Peran utamanya adalah memberikan perhatian, kasih
sayang, dan membesarkan anak-anak sehingga menjadi manusia yang berguna.
Subsistem ini bisa terdiri dari ayah-ibu saja, akan tetapi bisa pula terdiri
dari orang tua ditambah anggota keluarga lain (kakek-nenek) bahkan badan lain
(panti penitipan anak-anak). Sering dikacaukan peran kedua subsistem ini
(suami-isteri dan orang tua); suami isteri berbeda peran dengan ayah-ibu, akan
tetapi keduanya menyatu dalam sistem keluarga. Interaksi kedua subsistem itu
tergantung kepada interaksi secara keseluruhan (holon) dalam sistem
keluarga. Peranan-peranan subsistem itu saling tumpang tindih. Misalnya seorang
isteri adalah ibu dari anak-anaknya, anak dari ibu-bapaknya dan isteri dari
suaminya. Jika ia bekerja dan kuliah maka perannya bertambah luas yaitu pegawai
dari kantornya, rekan sekerja, mahasiswa dari jurusannya dan teman
sekuliahannya dari anggota kelasnya. Semua peran isteri itu membaur di
keluarga. Demikian pula si suami dan anak-anak. Tumpang tindih peran itu
menentukan terhadap struktur keluarga selanjutnya.
3.
Sibling
System: yaitu subsistem anak-anak dalam
sistem keluarga (sibling = saudara kandung). Di antara anak-anak terdapat suatu
interaksi. Mereka belajar berhubungan dengan keluarga dan teman-teman di luar
keluarga (sekolah, masyarakat). Mereka bereksplorasi dan bereksperimen terhadap
dunia luar. Hal ini menciptakan hubungan dengan saudara-saudara dan teman-teman
dan dikembangkan dalam hubungan sosial di rumah dan di luar rumah.
Setiap subsistem dalam keluarga memiliki hak dan kewajiban dalam
rumah tangga. Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari
oranglain,sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti
dilakukan seseorang terhadap orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat
al-Baqarah ayat 228
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Bagi isteri itu ada hak-hak berimbang dengan
kewajiban-kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari
isteri.
Hadits Nabi dari
Amru bin al-Ahwash
إِنَّ لَكُمْ
مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا
Artinya: sesungguhnya bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul
oleh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul.
Selanjutnya, Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa Hak suami merupakan
kewajiban bagi isteri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi isteri.
Dalam kaitan ini ada empat hal:[17]
1.
Kewajiban
suami terhadap isterinya, yang merupakan hak isteri dari suaminya.
2.
Kewajiban
isteri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari isterinya.
3.
Hak
bersama suami isteri.
4.
Kewajiban
bersama suami isteri.
Adapun kewajiban suami terhadap isterinya dapat dibagi kepada dua
bagian
1.
Kewajiban
yang bersifat materi yang disebut nafaqah.
2.
Kewajiban
yang tidak bersifat materi
Kewajiban suami yang merupakan hak bagi isterinya yang tidak
bersifat materi adalah sebagai berikut:
1.
Menggauli
istrinya secara baik dan patut. Firman Allah surat an-Nisa ayat 19.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا
النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا
آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
2.
Menjaganya
dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan
maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan mara bahaya. Firman Allah surat
at-Tahrim ayat 6.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
3.
Suami
wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud,
yaitu mawaddah, rahmad, dan sakinah. Untuk maksud itu suami wajib memberikan
rasa tenang bagi isterinya, memberikan cinta dan kasih sayang kepada isterinya.
Firman Allah surat al-Rum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي
ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Kewajiban isteri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari isterinya tidak ada yang berbentuk
materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi.
Kewajiban yang bersifat non materi itu adalah:
1.
Menggauli
suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya.
2.
Memberikan
rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya,dan memberikan rasa cinta dan
kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya.
3.
Taat
dan patuh kepada suaminya selama tidak menyuruhnya melakukan perbuatan maksiat.
4.
Menjaga
dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah.
5.
Menjauhkan
dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.
6.
Menjauhkan
dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak
enak didengar.
Adapun hak bersama suami isteri adalah hak bersama secara timbal
balik dari pasangan suami isteri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu
adalah sebagai berikut:
1.
Bolehnya
bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari
perkawinan itu.
2.
Timbulnya
hubungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya hubungan isteri dengan
keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
3.
Hubungan
saling mewarisi diantara suami isteri.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama adalah:
1.
Memelihara
dan mendidikan anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2.
Memelihara
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah
BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita yang diikat dalam suatu akad untuk membangun keluarga yang bahagia
berdasarkan aturan-aturan dan ketentuan syari’at. Hukum Nikah bermacam-macam
sesuai dengan kondisi dan keadaan seseorang, bisa menjadi wajib, sunnah,
makruh, mubah, dan haram. Tujuan pernikahan adalah melangsungkan keturunan,
membangun rumah tangga, dan menjaga kehormatan.
Pernikahan dalam perspektif Ritual merupakan suatu ikatan lahir
batin antara pihak suami dan istri ditinjau dari sah atau batalnya akad
pernikahan berdasarkan hukum atau aturan yang telah ditetapkan oleh syara’,
dengan memenuhi rukun dan syarat dalam pernikahan.
Sedangkan pernikahan dalam persepektif Sosial merupakan suatu
kontrak sosial dimana masing-masing pihak suami dan isteri memiliki hak dan
kewajiban, yang keduanya mengandung implikasi hukum. Suami dan isteri memiliki
peran masing-masing dalam rumah tangga, dan kedua belah pihak memiliki hak dan
kewajiban individu dan bersama yang harus dilaksanakan, sebagai upaya untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah,warrohmah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman
al-Juziri, 2009, Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-‘Arba’ah, Maktabah Ashriyah,
Libanon
Achmad
Mubarok, 2011, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga
Bangsa, Mubarok Institute, Jakarta
Ahmad,
Musnad Ahmad, Maktabah al-Syamilah
Amir
Syarifuddin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana Prenada, Jakarta
Asep
Arifin (Alih Bahasa), 2017, Ilmu Maqashid al-Syari’ah Ilmu teleologia Hukum
Islam Versi Nuruddin bin Mukhtar al-Khodimi, Maktabah al-Ubaikah, Bandung.
Moh
Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang.
Sofyan
S. Willis, 2013, Konseling Keluarga (Family Counseling), Alfabeta,
Bandung.
[1] Moh Rifai dan
Rosihin Abdul Ghoni, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang, 1991), hal. 70
[2] Ibid, hal. 387
[3] Ibid, hal. 34
[4] Ibid, hal.74
[5] Abdurrahman al-Juziri,Fiqh ‘ala
al-Madzhahib al-‘Arba’ah, (Libanon, Maktabah Ashriyah, 2009), hal. 789-790.
[7] Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta, Kencana Prenada, 2009), hal. 40
[8] Moh Rifai dan
Rosihin Abdul Ghoni, Op cit, hal. 319.
[10]
Ibid, juz/no hadits 6/3592, 7/4023, 7/4035, 7/4112, 7/4271, 11/6613, Maktabah
al-Syamilah.
[11] Amir
Syarifuddin, Op Cit, hal 45-46.
[12] Asep Arifin (Alih Bahasa), , Ilmu
Maqashid al-Syari’ah Ilmu teleologia Hukum Islam Versi Nuruddin bin Mukhtar
al-Khodimi, (Bandung, Maktabah al-Ubaikah, 2017), hal. 103-105.
[13]
Abdurrahman al-Juziri, Op Cit, hal, 795.
[14]Achmad
Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa,
(Jakarta, Mubarok Institute, 2011), hal. 116.
[15] Ibid, hal.
149-150.
[16]
Sofyan S. Willis, , Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung,
Alfabeta, 2013), hal. 51.
[17] Amir
Syarifuddin, Op Cit, hal. 160-164.
Komentar
Posting Komentar