Pernikahan dalam persfektif Ritual dan Sosial



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan sebagai khitab atau perintah Allah dan Rosulullah kepada umatnya merupakan sebuah perintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fitrah manusia, perintah untuk melangsungkan pernikahan tentu memiliki aturan tersendiri yang menjadikan ikatan pernikahan antara seorang pria dan wanita dianggap sah menurut aturan agama, sehingga pernikahan sebagai suatu ritual keagamaan didalamnya terdapat aturan baku mengenai rukun dan syarat yang harus terpenuhi agar akad pernihakahan itu sah.
Selain itu, pernikahan sebagai bentuk hubungan antara manusia habl min naas, membuka pintu baru bagi pasangan pria dan wanita dalam hubungan rumah tangga, keduanya memiliki porsi keduduakan, serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam rumah tangga. Adanya pembagian hak dan kewajiban ini tentu bertujuan untuk memperoleh cita-cita membangun keluarga yang bahagia, sakinah, mawaddah, warohmah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang bagaimana aturan-aturan yang harus dipenuhi agar suatu akad pernikahan dianggap sah dalam perspektif ritual, dan menjelaskan tentang bagaimana hubungan hak dan kewajiban bagi suami isteri dalam rumah tangga, demi mewujudkan keluarga yang bahagia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum pernikahan, dan tujuan pernikahan?
2.      Bagaimana Pernikahan dalam Perspektif Ritual?
3.      Bagaimana Pernikahan dalam Perspektif Sosial?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui hukum pernikahan dan tujuannya.
2.      Mengetahui Pernikahan dalam Perspektif Ritual.
3.      Mengetahui Pernikahan dalam Perspektif Sosial.

BAB II
PERNIKAHAN DALAM PERSPEKTIF RITUAL, DAN SOSIAL
A.    Pernikahan
1.      Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata yakni nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang  Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا                                    
Artinya: dan jika kamu merasa takut tidak akandapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yangyatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah dengan wanita-wanita yang lain yang kamu senangi, dua,tiga atau empat.makajikakamu takut tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, maka kawinilah seorangsaja ataukawinilah wanita-wanita yang kamu miliki. Demikian itu (beristeri satu) adalah lebih tepat agar kamu tidak berbuat aniaya.[1]
Demikian pula terdappatkata za-wa-ja dalam al-Qur’an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzab ayat 37:
وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
Artinya: dan (ingatlah) tatkala engkau berkata kepada orang yangtelah Allah memberikan nikmat kepadanya dan kamu telah memberikan nikmat kepadanya (yaitu Zaid bin Haritsah). “Tahanlah isterimu (jangan engkau ceraikan), sedang engkau menyimpan dalamhati engkau apa yang Allah akan menampakkannya dan engkau takut kepada manusia (yang berkata): “Muhammad mengawini bekas isteri anaknya. Padahal Allah yang lebih patut engkau takuti. Setelah Zaid menunaukan hajatnya (telah bergaul dengan perempuan itu, lali diceraikannya). Maka Kami kawinkan engkau dengan perempuan itu (setelah habis iddahnya), supaya tidak ada kesulitan bagi orang-orang mukmin untuk (mengawini) bekas isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari mereka (isteri-isterinya). Dan ketetapan Allah itu pasti dijalankan.[2]
Secara bahasa kata nikah berarti ‘bergabung’ (الضم), berhubungan kelamin (وطء) danjuga berarti ‘akad’ (عقد). Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an memang mengandung dua arti tersebut. Kata nikah  yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 230:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: maka jika suami mentalak isterinya (sesudah dua kalitalak), maka wanita itu tidak halal lagi baginya sesudah itu sehingga wanita (bekas isterinya) itu menikah dengan suami selainnya. Maka jika ia mentalaknya, maka tak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) akan kembali lagi, jika mereka rasa bahwa mereka dapat menegakkan aturan-aturan Allah. Dan itulah aturan-aturan Allah: Ia menerangkannya kepadakaum yang mengetahui.[3]
Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua peremmpuan itu belumboleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah merasakan nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.
Tetapi dalam al-Qur’an terdapat pula arti kata nikah dengan arti akad, seperti dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 22:
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya: dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan yang telah dikawini oleh bapamu, kecuali yang telah lampau sesungguhnya perbuatan itu amat keji terkutuk dan jalan yang salah.[4]
Ayat tersebut di atas mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan akad nikah dengan perempuan tersebut, meskipun diantara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.
Para ulama berbeda dalam mengartikan nikah secara istilah, Ulama Hanafiyah mendefiniskan nikah sebagai عقد يفيد ملك المتعة قصدا yang artinya Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan secara sengaja. Ulama Malikiyah mendefiniskan nikah denganعقد على مجرد متعة التلذذ بآدمية غير موجب قيمتها ببينة قبله غير عالم عاقده حرمتها ان حرمها الكتاب على المشهور أو الإجماع على غير المشهور. Ulama Syafi’iyah mendefiniskan nikah sebagai berikut: عقد يتضمن ملك وطء بلفظ إنكاح أو تزويج أو معناهما yang artinya, suatu akad atau perjanjan yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau taz-wij atau lafadz yang yang maknanya sama dengan kedua lafadz tersebut. Sedangkan Ulama Hanbaliyah mengartikan nikah sebagai عقد بلفظ إنكاح أو تزويج على منفعة الاستمتاع yakni akad dengan lafadz na-ka-ha atau taz-wij yang menyebabkan dibolehkannya mengambil manfaat kesenangan (istimta) kepada seorang wanita.[5]
Adapun pengertian perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah:
Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[6]
Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa, dari rumusan pasal diatas terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni: [7]
Pertama: digunakan kata:’seorang pria dengan seorang wainta’ mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara.
Kedua: digunakannya ungkapan ‘sebagai suami istri’ mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah ‘hidup bersama’.
ketiga: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Berdasarkan pengertian pernikahan diatas, dapat dipahami bahwa, pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang diikat dalam suatu akad untuk membangun keluarga yang bahagia berdasarkan aturan-aturan dan ketentuan syari’at.
2.      Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak perintah-perintah Allah dalam al-Qur’an untuk melaksanakan perkawinan. Diantaranya firman Allah dalam surat an-Nuur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: dan kawinkanlah orang-orang yang tidak beristeri atau yang tidak bersuami diantara kamu, dan orang-orang yang pantas (untuk dikawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka fakir, Allah akan membuat mereka kecukupan dari karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha bijaksana.[8]
Hadits Nabi dari Anas bin Malik diriwayatkan Ahmad dan disahkan oleh Hibban, yakni:
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ؛ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ الْأَنْبِيَاءَ بِكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ[9]
Artinya: Kawinilah perempuan-perempuan yang dicintai yang subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga karenabanyak kaumdi hari kiamat.

Hadits dari Abdullah bin Mas’ud
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ[10]
Artinya: Wahai para pemuda, siapa di antaramu telah mempunyai kemampuan dari segi ‘alba’ah’ hendaklahia kawin, karena perkawinanitu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak baik dan lebih menjaga kehormatan.bila ia tidak mampu untuk kawiin hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu baginya pengekang hawa nafsu.

Amir Syarifuddin mengemukakan beberapa pendapat ulama dalam menentukan hukum nikah. Ulama Syafi’iyah secara rinci menyakan hukum perkawinan itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, sebagai berkut:[11]
a.       Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk kawin, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan perkawinan.
b.      Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk kawin, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada.begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk kawin, namun fisiknya mengalami cacat seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka, dan kekurangan  fisik lainnya.

Ulama Hanafiyah menambahan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:
a.       Wajib bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin; ia takut akan terjerumus berbuat zina kalau ia tidak kawin.
b.      Makruh bagi orang pada dasarnya mampu melakukann perkawinan, namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya itu.
                                 
Ulama lain menambahkan hukum perkawinan secara  khusus untuk keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:
a.       Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan perkawinan atau ia yakin perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan ia meyakini perkawinan itu akan merusak kehidupan pasangannya.
b.      Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk kawin dan perkawinan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.

3.      Tujuan Perkawinan
perkawinan sebagai bentuk perjalan hidup manusia yeng penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan, mengandung sejumlah tujuan dan faedah, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Nuruddin dalam kitab Ilmu Maqashid al-Syari’ah yang diterjemahkan oleh Asep Arifin, sebagai berikut:[12]
a.       Memelihara dan memperbanyak keturunan demi memakmurkan bumi, mengekalkan eksistensi manusia serta memperkuat pondasi-pondasi kepemimpinan di muka bumi.
b.      Menjaga nasab dan kehormatan dari ketidakjelasan dan percampuran bebas serta permainan. Anak sebagai tujuan utama dari pernikahan dapat dipastikan kebenaran dengan adanya hubungan keturunan antara induk dan anaknya.
c.       Mewujudkan ketenangan, dan kasih sayang di antara suami istri, saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serat bergaul dengan baik daam beribadah kepada Allah dan memakmurkan serta memperbaikinya sebagai lahan pertanian akhirat yang akan dilaluinya.
d.      Membina keluarga Islam dan mewujudkan masyarakat yang solih. Diantara tujuan nikah adalah membina rumah tangga harmonis di antara anggota-anggotanya, yang mentaati Tuhannya dan menjalankan segala aturannya sehingga dapat memberi sumbangsih dalam mewujudkan masyarakat dan umat manusia yang ideal.
e.       Membersihkan masyarakat dari berbagai penyakit biolgis dan dekadensi moral.

B.     Pernikahan dalam Perspektif Ritual (Sahnya Akad)
Ritual adalah kata sifat dari rites dan juga ada yang merupakan kata benda. Sebagai kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara keagamaan. Sedangkan sebagai kata benda adalah segala yang bersifat upacara keagamaan. Adapun kaitannya pernikahan dalam perspektif ritual adalah suatu ikatan lahir batin antara pihak suami dan istri ditinjau dari sah atau batalnya akad pernikahan berdasarkan hukum atau aturan yang telah ditetapkan oleh syara’. Perkawinan merupakan bentuk ibadah dan muamlah yang didalamnya terdapat beberapa unsur yang harus terpenuhi, adapun unsur-unsur tersebut adalah adanya rukun dan syarat nikah.
1.      Rukun Nikah
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan rukun nikah. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa rukun nikah itu hanya dua, yakni: (a) Ijab, yakni lafadz yang diucapkan dari wali perempuan; dan (b) Qobul,yakni lafadz yang diucapkan oleh pihak calon suami atau orang yang mewakilinya. Adapun rukun nikah menurut ulama Malikiyah ada 5 macam, yakni: (a) wali calon istri, sehingga tidak sah jika pernikahan dilakukan tanpa adanya wali; (b) mahar atau mas kawin, namun pengucapan mahar dalam akad tidak menjadi syarat: (c) calon suami; (d) istri beserta tidak adanya sesuatu yang menghalangi batalnya pernikahan seperti dalam keadaan ihram, atau calon istri tersebut dalam keadaan iddah; (e) shighot. Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa tidak sah suatu pernikahan jika tidak memenuhi 5 rukun, yakni: (a) suami; (b) istri; (c) wali; (d) dua saksi; (e) sighot.[13]
2.      Syarat Nikah
Undang-Undang Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU Perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan  sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fqih Syafi’i dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.
a.       Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk Ijab dan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Untuk sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat sebagai berikut:
1)      Akad harus dimulai dengan Ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki. Seperti ucapan wali pengantin perempuan: “saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab al-Qur’an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak laki-laki. Seperti ucapan mempelai laki-laki: “saya terima menikahi anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab al-Qur’an”.
2)      Materi dari Ijab dan qabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan secara lengkap dan bentuk mahar yang disebutkan.
3)      Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat. Ulama Malikiyah memperbolehkan terlambatnya ucapan qabul dari ucapan Ijab, bila keterlambatan itu hanya dalam waktu yang pendek.
4)      Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena perkawinan itu ditunjukkan untuk selama hidup.
5)      Ijab dan qabul mesti menggunakan lafadz yang jelas dan terus terang. Tidak boleh menggunakan ucapan sindiran, karena untuk penggunakan lafadz sindiran itu diperlukan niat, sedangkan saksi yang harus dalam perkawinan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan seseorang.
b.      Laki-laki dan Perempuan yang Kawin.
Syarat yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin ini adalah sebagai berikut:
1)      Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya,baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkaitan dengan dirinya.
2)      Keduanya sama-sama beragama Islam.
3)      Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)      Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan pihak yang akan mengawininya.
5)      Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
c.       Wali dalam Perkawinan
Wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak teradap dan atas nama orang lain, adapaun perwalian dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Orang yang menjadi wali bagi calon isteri haruslah memenuhi syarat-syarat berikut:
1)      telah dewasa dan berakal sehat.
2)      Laki-laki
3)      Muslim
4)      Orang merdeka
5)      Tidak dalam pengampuan atau mahjur alaih
6)      Berpikiran baik
7)      Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dosa kecil serta tetap memelihara muru’ah atau sopan santun.
8)      Tidak sedang melakukan ihram.
d.      Saksi, akad perniakahan harus disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad dikemudian hari.  Saksi dalam pernikahan harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1)      Saksi berjumlah paling kurang dua orang.
2)      Kedua saksi itu adalah beragama Islam
3)      Kedua saksi itu adalah orang yangmerdeka
4)      Kedua saksi itu adalah laki-laki
5)      Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidakselalu melakukan dosa kecil dan tetap menjagamuru’ah.
6)      Keduasaksi itu dapat mendengar dan melihat.
C.     Pernikahan dalam Perspektif Sosial
“Pernikahan dalam perspektif sosial akad nikah adalah suatu kontrak sosial dimana masing-masing pihak suami dan isteri memiliki hak dan kewajiban, yang keduanya mengandung implikasi hukum”.[14] Selain itu, pernikahan juga  merupakan suatu cita-cita dalam membangun keluarga yang sakinah, yang di dalamnya terkandung ketenangan, keamanan dan penuh kasih sayang. Keluarga sakinah merupakan suatu kondisi yang sangat ideal dalam keluarga, dan yang ideal biasanya jarang terjadi, oleh karena itu ia tidak terjadi mendadak,tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh, yang memerlukan perjuangan serta butuuh waktu serta pengorbanan terlebih dahulu. Ahmad Mubarok memberikan beberapa hal yang dapat mengantarkan pada keluarga sakinah, yakni:[15]
1.      Dalam keluargaitu ada mawaddah dan rahmah (QS/30:21). Mawaddah adalah jenis cinta membara, yang menggebu-gebu dan “nggemesi”, sedangkan rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap bekorban dan siap melindungi kepada yang dicintai. Mawaddah saja kuang menjamin kelangsungan rumah tangga, sebaliknya, rahmah, lama kelamaan menumbuhkan mawaddah.
2.      Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (QS/2:187). Fungsu pakaian ada tiga, yaitu: (a) menutup aurat, (b) melindungi diri dari panas dingin; dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus memfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekuarangan, suami tidak menceritakan kepada orang lain, begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawake dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus selalu tampil membanggakan isteri, jangan terbalik di luaran tampil menarik orang banyak, di rumah ‘nglombrot’ menyebalkan.
3.      Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma’ruf), tidak asal benar dan hak, (Q/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma’ruf. Hal ini tertutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4.      Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima (idza aradallohu bi ahli baitin khoiron dst); (a) memiliki kecendrungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan (e) selalu introspeksi.
5.      Menurut hadits Nabi juga, empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba’un min sa’adat al-mar’i) yakni (a) suami/isteri yang setia (saleh/salehah), (b) anak-anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat,dan (d) dekat rizkinya.
Selain membentuk keluarga sakinah, pernikahan juga membentuk sistem baru dalam keluarga, dimana setiap komponen-komponen keluarga saling berhubungan sehingga terbentuklah keluarga yang utuh, komponen keluarga tersebut adalah anggota keluarga, dan setiap anggota keluarga memiliki peran penting dalam mewujudkan keluarga yang ideal. Menurut Sofyan S.Willis didalam sistem keluarga terdapat beberapa subsistem, yaitu:[16]
1.        Marital Subsystem: merupakan sistem perkawinan antara sepasang manusia yaitu suami dan isteri. Peranan utama perkawinan ialah untuk mencapai kepuasan atas dasar cinta dan penghargaan (Terkelsen, 1980). Subsistem ini mempunyai peran tersendiri dan jelas berbeda dengan peran seabgai orang tua terhadap anak-anaknya. Marital Subsystem berkaitan dengan perhatian masing-masing anggota pasangan suami isteri. Sedangkan subsistem orang tua (parental subsystem) berkaitan dengan pola interaksi dalam memberikan perhatian terhadap anak-anak mereka.
2.        Parental Subsystem: yaitu subsistem keluarga yang terdiri dari orang tua (ayah-ibu). Peran utamanya adalah memberikan perhatian, kasih sayang, dan membesarkan anak-anak sehingga menjadi manusia yang berguna. Subsistem ini bisa terdiri dari ayah-ibu saja, akan tetapi bisa pula terdiri dari orang tua ditambah anggota keluarga lain (kakek-nenek) bahkan badan lain (panti penitipan anak-anak). Sering dikacaukan peran kedua subsistem ini (suami-isteri dan orang tua); suami isteri berbeda peran dengan ayah-ibu, akan tetapi keduanya menyatu dalam sistem keluarga. Interaksi kedua subsistem itu tergantung kepada interaksi secara keseluruhan (holon) dalam sistem keluarga. Peranan-peranan subsistem itu saling tumpang tindih. Misalnya seorang isteri adalah ibu dari anak-anaknya, anak dari ibu-bapaknya dan isteri dari suaminya. Jika ia bekerja dan kuliah maka perannya bertambah luas yaitu pegawai dari kantornya, rekan sekerja, mahasiswa dari jurusannya dan teman sekuliahannya dari anggota kelasnya. Semua peran isteri itu membaur di keluarga. Demikian pula si suami dan anak-anak. Tumpang tindih peran itu menentukan terhadap struktur keluarga selanjutnya.
3.        Sibling System: yaitu subsistem anak-anak dalam sistem keluarga (sibling = saudara kandung). Di antara anak-anak terdapat suatu interaksi. Mereka belajar berhubungan dengan keluarga dan teman-teman di luar keluarga (sekolah, masyarakat). Mereka bereksplorasi dan bereksperimen terhadap dunia luar. Hal ini menciptakan hubungan dengan saudara-saudara dan teman-teman dan dikembangkan dalam hubungan sosial di rumah dan di luar rumah.
Setiap subsistem dalam keluarga memiliki hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari oranglain,sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: Bagi isteri itu ada hak-hak berimbang dengan kewajiban-kewajibannya secara makruf dan bagi suami setingkat lebih dari isteri.
Hadits Nabi  dari Amru bin al-Ahwash
إِنَّ لَكُمْ مِنْ نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا
Artinya: sesungguhnya bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul.
Selanjutnya, Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa Hak suami merupakan kewajiban bagi isteri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi isteri. Dalam kaitan ini ada empat hal:[17]
1.        Kewajiban suami terhadap isterinya, yang merupakan hak isteri dari suaminya.
2.        Kewajiban isteri terhadap suaminya, yang merupakan hak suami dari isterinya.
3.        Hak bersama suami isteri.
4.        Kewajiban bersama suami isteri.
Adapun kewajiban suami terhadap isterinya dapat dibagi kepada dua bagian
1.        Kewajiban yang bersifat materi yang disebut nafaqah.
2.        Kewajiban yang tidak bersifat materi
Kewajiban suami yang merupakan hak bagi isterinya yang tidak bersifat materi adalah sebagai berikut:
1.        Menggauli istrinya secara baik dan patut. Firman Allah surat an-Nisa ayat 19.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
2.        Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan mara bahaya. Firman Allah surat at-Tahrim ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
3.        Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu mawaddah, rahmad, dan sakinah. Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi isterinya, memberikan cinta dan kasih sayang kepada isterinya. Firman Allah surat al-Rum ayat 21.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Kewajiban isteri terhadap suaminya yang merupakan hak suami  dari isterinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah kewajiban dalam bentuk non materi. Kewajiban yang bersifat non materi itu adalah:
1.        Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya.
2.        Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya,dan memberikan rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya.
3.        Taat dan patuh kepada suaminya selama tidak menyuruhnya melakukan perbuatan maksiat.
4.        Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang tidak berada di rumah.
5.        Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.
6.        Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak enak didengar.
Adapun hak bersama suami isteri adalah hak bersama secara timbal balik dari pasangan suami isteri terhadap yang lain. Adapun hak bersama itu adalah sebagai berikut:
1.        Bolehnya bergaul dan bersenang-senang diantara keduanya. Inilah hakikat sebenarnya dari perkawinan itu.
2.        Timbulnya hubungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya hubungan isteri dengan keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
3.        Hubungan saling mewarisi diantara suami isteri.
Sedangkan kewajiban keduanya secara bersama adalah:
1.        Memelihara dan mendidikan anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut.
2.        Memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah



BAB III
KESIMPULAN
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang diikat dalam suatu akad untuk membangun keluarga yang bahagia berdasarkan aturan-aturan dan ketentuan syari’at. Hukum Nikah bermacam-macam sesuai dengan kondisi dan keadaan seseorang, bisa menjadi wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Tujuan pernikahan adalah melangsungkan keturunan, membangun rumah tangga, dan menjaga kehormatan.
Pernikahan dalam perspektif Ritual merupakan suatu ikatan lahir batin antara pihak suami dan istri ditinjau dari sah atau batalnya akad pernikahan berdasarkan hukum atau aturan yang telah ditetapkan oleh syara’, dengan memenuhi rukun dan syarat dalam pernikahan.
Sedangkan pernikahan dalam persepektif Sosial merupakan suatu kontrak sosial dimana masing-masing pihak suami dan isteri memiliki hak dan kewajiban, yang keduanya mengandung implikasi hukum. Suami dan isteri memiliki peran masing-masing dalam rumah tangga, dan kedua belah pihak memiliki hak dan kewajiban individu dan bersama yang harus dilaksanakan, sebagai upaya untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah,warrohmah.



DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman al-Juziri, 2009, Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-‘Arba’ah, Maktabah Ashriyah, Libanon
Achmad Mubarok, 2011, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, Mubarok Institute, Jakarta
Ahmad, Musnad Ahmad, Maktabah al-Syamilah
Amir Syarifuddin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana Prenada, Jakarta
Asep Arifin (Alih Bahasa), 2017, Ilmu Maqashid al-Syari’ah Ilmu teleologia Hukum Islam Versi Nuruddin bin Mukhtar al-Khodimi, Maktabah al-Ubaikah, Bandung.
Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang.
Sofyan S. Willis, 2013, Konseling Keluarga (Family Counseling), Alfabeta, Bandung.


[1] Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang, 1991), hal. 70
[2] Ibid, hal. 387
[3] Ibid, hal. 34
[4] Ibid, hal.74
[5] Abdurrahman al-Juziri,Fiqh ‘ala al-Madzhahib al-‘Arba’ah, (Libanon, Maktabah Ashriyah, 2009), hal. 789-790.
[6]  Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1.
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana Prenada, 2009), hal. 40

[8] Moh Rifai dan Rosihin Abdul Ghoni, Op cit, hal. 319.
[9] Ahmad, Musnad Ahmad, juz XX/ no hadits 12613, juz XXI/ no hadits13569. Maktabah al-Syamilah)
[10] Ibid, juz/no hadits 6/3592, 7/4023, 7/4035, 7/4112, 7/4271, 11/6613, Maktabah al-Syamilah.
[11] Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 45-46.
[12] Asep Arifin (Alih Bahasa), , Ilmu Maqashid al-Syari’ah Ilmu teleologia Hukum Islam Versi Nuruddin bin Mukhtar al-Khodimi, (Bandung, Maktabah al-Ubaikah, 2017), hal. 103-105.

[13]  Abdurrahman al-Juziri, Op Cit, hal, 795.
[14]Achmad Mubarok, Psikologi Keluarga dari Keluarga Sakinah Hingga Keluarga Bangsa, (Jakarta, Mubarok Institute, 2011), hal. 116.
[15] Ibid, hal. 149-150.
[16] Sofyan S. Willis, , Konseling Keluarga (Family Counseling), (Bandung, Alfabeta, 2013), hal.   51.

[17] Amir Syarifuddin, Op Cit, hal. 160-164.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qoidah al-I'lal

KAIDAH AL-UMUR BI MAQOSHIDIHA

Nadzom Fiqh Sunda karya Kyai Juwaini Ibn Abdurrohman