KAIDAH AL-UMUR BI MAQOSHIDIHA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih)
adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kita semua. Akan
tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu
perlu kiranya kita untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui benang merah yang menguasai
fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih.
Selain itu kita juga akan menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu
dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya kita juga bisa
menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial,
budaya sehingga kita bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.
Dalam
makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih yang pertama, yaitu الامور
بمقاصدها (al-Umur bi
Maqasidiha). Kaidah ini membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna
perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat
ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Ataukah
dia tidak niat karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan kaidah al-umur bi maqashidiha dan Kepentingannya?
2.
Bagaimana
Dalil, Syarat, Rukun, dan Macam-macam Niat?
3.
Apa
Saja Kaidah-kaidah yang Termasuk kedalam Kaidah al-umur bi Maqashidiha dan
Pelaksanaannya?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
makna kaidah al-umur bi Maqashidiha dan
Kepentingannya.
2.
Mengetahui Dalil, Syarat, Rukun, dan Macam-macam Niat.
3.
Mengetahui
Kaidah-kaidah yang Termasuk kedalam Kaidah al-umur bi Maqashidiha dan
Pelaksanaannya.
BAB II
KAIDAH AL-UMUR BI MAQASHIDIHA
A.
Makna Kaidah dan Kepentingannya
Ahmad bin Syaikh Muhammad al-Zarqad (1989: 47) menyatakan bahwa lafadz
الأمور merupakan bentuk jama’ dari kata الأمر merupakan lafadz umum yang mencakup seluruh
pekerjaan anggota badan dan ucapan, sebagaimana firman Allah Swt:
Al-Qur’an surat al-Hud ayat 123.
وَلِلَّهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ
الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ
عَمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya:
kepunyaan Allah segala apa yang gaib di langit dan di bumi, dan kepada-Nyalah
dikembalikan urusan semuanya. Maka sembahlah Dia, dan berserah dirilah
kepada-Nya, karena Tuhan sama sekali tidak lupa terhadap apa-apa yang kamu
kerjakan (Moh Rifa’i dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991: 212).
Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 154.
قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
Artinya:
Katakanlah olehmu hai Muhammad, bahwasanya urusan semuanya adalah kepunyaan
Allah (Moh Rifa’i dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991: 64).
Kaidah al-umur bi Maqashidiha terdiri dari dua kata, yakni al-umur
dan al-maqashid. Lafadz al-umur diartikan sebagai tingkah
laku atau perbuatan seorang mukallaf yang berupa ucapan, perbuatan,
i’tikad, dan meninggalkan sesuatu. Lafadz al-maqashid merupakan bentuk jama’
dari bentuk mufrod maqshud yakni bentuk mashdar dari lafad
qashada, secara bahasa qashada berarti menyengaja sesuatu yang
berarti niat, adapun niat secara bahasa berarti qashdu.
Adapun secara istilah adalah هي
قصد الإنسان بقلبه ما يريده بفعله yakni
niatnya seorang manusia dengan hatinya untuk melakukan suatu pekerjaan yang
dikehendakinya. Sebagian ulama Syafi’i mengartikannya dengan قصد الشيء
مقترناً بفعله yakni
menyengaja sesuatu dengan dibarengi melakukan sesuatu tersebut. Berdasarkan hal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kaidah الأموربمقاصدها adalah sesungguhnya amal seorang mukallaf
itu tergantung pada niatnya yang menunjukkan sah, fasid, pahala
atau dosanya amal yang dilakukan oleh si mukallaf tersebut.
B.
Dalil, Syarat, dan Rukunnya
1.
Dalil
Setiap kaidah yang diciptakan oleh para ulama, tentu memiliki dalil
atau dasar hukum yang menjadi landasan terbentuknya kaidah tersebut. Adapun
kaidah الأموربمقاصدها
di dasarkan kepada al-qur’an dan hadits, sebagai berikut:
Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 145.
وَمَا
كَانَ لِنَفْسٍ أَنْ تَمُوتَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ كِتَابًا مُؤَجَّلًا وَمَنْ
يُرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَنْ يُرِدْ ثَوَابَ الْآخِرَةِ
نُؤْتِهِ مِنْهَا وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
Artinya: sesuatu yang berjiwa/nyawa tidak akan mati, kecuali dengan
izin Allah, pada waktu yang telah ditentukan; dan barangsiapa yang ingin pahala
dunia, Kami akan beri kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa yang
mengharapkann pahala akhirat, Kami akan beri kepadanya pahala akhirat itu; dan
Kami akan membalas mereka yang bersyukur (Moh Rifa’i dan Rosihin Abdul Ghoni,
1991: 62).
Al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 100.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ
مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: Barangsiapa yang hijrah di jalan Allah, ia kan mendapatkan
tempat di muka bumi ini untuk berlindung. Barangsiapa pergi meninggalkan
rumahnya untuk hijrah kepada Allah dan Rasul Nya, kemudian ia mati, maka dia
akan diberi ganjaran oleh Allah. Dan Allah Mahapengampun lagi Mahakekal rahmat
Nya (Moh Rifa’i dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991: 86).
Ayat ini menjelaskan bahwa siapa yang keluar dari rumahnya dengan
maksud berhijrah kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, sesungguhnya telah wajib
menerima pahala hijrah demi kehormatan niatnya. Ayat ini turun (Asbab al-Nuzul)
berkenaan dengan seorang laki-laki yang sudah tua dari suku Khuza’a. Ketika
kaum muslimin menerima perintah hijrah ke Madinah, laki-laki tersebut dalam
kondisi sakit. Kemudian ia meminta kepada keluarganya supaya menandunya di atas
pembaringan dan membawanya kepada Rosulullah Saw. Kemudian keluarganya mengerjakannya,
tetapi sebelum sampai kepada Rasulullah Saw ia meninggal di daerah Tan’im.
Kemudian turunlah ayat ini yang menjelaskan bahwa datangnya kematian sebelum
menyelesaikan amal tidak akan mengurangi pahala sedikitpun dalam pandangan
Allah Swt (Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, juz II: 274)
Al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 5.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ
تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ
قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka. (panggilan) itulah yang lebih adil di sisi Allah. Maka
jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (cukuplah panggilan itu)
saudara-saudaramu seagama dan anak-anak maulamu. Dan tidak ada dosa atas kamu
terhadap apa yang kamu telah (mengerjakannya dengan) salah, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang hatimu sengaja (mengerjakannya). Dan Allah itu Mahapengampun
lagi Mahapenyayang (Moh rifa’i dan Rosihin Abdul Ghoni: 376)
Hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Umar bin Khattab:
عَنْ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا
نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ
امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
(Malik Bin Anas: 983. Ahmad bin Hanbal: 168, 300. Muhammad bin Isma’il
Abu Abdullah al-Bukhori: 1, 54, 2529, 3898, 6689, 6953. Muslim bin Hujaj: 155.
Ibnu Majjah: 4227. Abu Daud Sulaiman: 2201. Muhammad bin Isa Turmudzi: 1647.
Abu Bakar Ahmad al-Bazzar: 257. Abu Abdurrahman an-Nasai: 75, 3437, 3794)
Artinya:
Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap
manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang
hijrahnya kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan
RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau
wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia
inginkan itu.
Jamaluddin Abu al-Farj al-Jauzi, dalam kitab Kasyful al-Musyikil
min Hadits al-Shohihain (juz I, hadits no, 34: 84-87), menjelaskan hadits
diatas kedalam 4 bagian, yakni:
a.
Diriwayatkan
oleh Yahya bin Sai’id berjumlah 250 laki-laki, Abi Sai’id al-Khudri, Nuh bin
Habib al-Badzsyi, Abu Hurairoh, Ibn Abbas, Ibn Umar, Mu’awiyah, namun tidak ada
sanad yang shohih kecuali dari Umar.
b.
Asbabul
wurud hadits ini berkaitan dengan seorang
laki-laki Makkah yang berhijrah ke Madinah karena mengikuti seorang wanita yang
ingin dinikahinya.
c.
Keutamaan
dan kemuliaan hadits. Abdurrahman bin Mahdi berkata: “penting bagi seseorang
yang ingin mengarang kitab, maka hendaklah ia memulainya dengan hadits ini”,
oleh karena itu Imam Bukhori mendahului kitab shohih-nya dengan hadits
ini. Imam Syafi’i menyebutkan bahwa hadits ini masuk kedalam 70 bab fiqh. Ahmad
bin Hanbal berkata bahwa ushul Islam terdiri dari 3 hadits, yakni “الْأَعْمَال بِالنِّيَّةِ”, " حَلَال بَين، وَحرَام بَين ",”من أحدث فِي
أمرنَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رد”. Abu Daud al-Sijistani berkata bahwa fiqh terdiri dari 5
hadits, yakni "
الْأَعْمَال بِالنِّيَّاتِ "”,
“حَلَال بَين”,
“مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْكُم فَاجْتَنبُوهُ، وَمَا
أَمرتكُم بِهِ فَأتوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُم”, “لَا ضَرَر وَلَا ضرار”,” الدّين النَّصِيحَة”. Abu Daud berkata, hadits Rosulullah Saw yang ditulis
sebanyak 500.000 hadits, menurutnya manusia cukup berpegang teguh pada 4 hadits
bagi agamanya, yakni " الْأَعْمَال بِالنِّيَّاتِ ", "
الْحَلَال بَين ", " من حسن
إِسْلَام الْمَرْء تَركه مَا لَا يعنيه ", "
لَا يكون الْمُؤمن مُؤمنا حَتَّى يرضى لِأَخِيهِ مَا يرضاه لنَفسِهِ ".
d.
Tafsir
hadits, lafadz إِنَّمَا merupakan lafadz حصر yang menunjukkan bahwa niat merupakan
rukun suatu amal, dan telah ma’lum bahwa Rosulallah Saw tidak bermaksud
menafikan amal yang bersifat batin sebab ia dapat diketahui tanpa dengan niat,
adapun maksudnya adalah niat merupakan penentu sah atau tidaknya suatu
perbuatan syari’at. Lafadz النِّيَّة berarti قصدك
الشَّيْء menyengaja
sesuatu, dan berubahnya suatu kehendak. Lafadz وَإِنَّمَا
لامرئ مَا نوى
merupakan taukid dari lafadz yang pertama
Muhammad bin Husain al-Ajari berkata, hadits ini berkaitan dengan
hijrah Rosullah dari Makkah ke Madinah yang diwajibkan bagi muslimin Makkah
yang hendak berhijrah, mereka mengajak keluarga berserta para karib kerabat
untuk berhijrah menuju ridho Allah. Namun, ada seorang laki-laki muhajirin yang
tidak berniat untuk mengharapkan ridho Allah dan Rosul, melainkan ia berniat
untuk menikahi wanita-wanita yang ikut berhijrah, laki-laki tersebut disebut
dengan Muhajir Umm Qoys (Ibn Bathol Abu al-Hasan, VII: 165).
Hadits diatas menjadi dasar hukum disyariatkannya niat dalam setiap
perbuatan mukallaf yang menentukan sah atau batalnya perbuatan tersebut.
Namun, kenapa para ulama menggunakan teks qaidah الأمور
بمقاصدها, padahal teks hadits tersebut adalah الأعمال
بالنيات, ada 2 alasan kenapa para ulama menggantikan teks hadits tersebut, yaitu:
Pertama, lafadz الأعمال danالأمور menurut sebagian ulama
merupakan lafadz ‘am (umum) yang mencakup ucapan dan perbuatan, namun
ada pula sebagai ulama lainnya yang menyatakan bahwa, lafadzالأعمال merupakan lafadz khas (khusus) yang menunjukkan pada perbuatan saja,
tidak mencakup ucapan. Sehingga para ulama menggantikannya dengan lafadالأمور yang di dalamnya tidak
hanya mencakup perbuatan saja, tetapi juga ucapan.
Kedua, para ulama memberikan beberapa persyaratan dalam niat, sehingga niat
merupakan lafadz yang lebih khusus daripada kata قصد (tujuan), oleh karena itu para ulama mengganti lafadz نيات kepada lafadz قصد karena ia merupakan lafadz yang lebih umum daripada
lafadz niat.
Pada kalimat الأعمال بالنيات, terdapat lafadz mahdzuf (terbuang) yang tidak akan sempurna tanpa
lafadz tersebut, yakni lafadz yang menjadi muta’allaq dari jar majrur
huruf ba. Para ulama fiqh mentaqdirkan lafadz mahdzuf kedalam
tiga pendapat. (Alauddin Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi, VIII: 3860.
Taqiyyuddin Abu al-baqa’ Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz bin Al-Futuhi, IV: 455).
1.
Lafadz
صحة,
asal kalimatnya adalah صحة الاعمال باالنيات yang
berarti sahnya amal adalah tergantung pada niatnya, pendapat ini dipegang oleh
ulama jumhur.
2.
Lafadz
كمال, asal
kalimatnya adalah كمال الاعمال باالنيات yang berarti sempurnanya amal adalah
dengan niat. Mereka berpendapat bahwa sebagian amal itu terkadang mencakup niat
didalamnya, seperti dalam hal memenuhi hak-hak untuk membayar hutang dan
sebagainya
3.
Lafadz
اعتبار,
asal kalimatnya adalah اعتبار الاعمال باالنياتyang
berarti pertimbangan suatu amal adalah sesuai dengan niatnya, pendapat ini
dipegang oleh al-Qorofy.
Hadits dari Amr’ bin ‘Auf.
مَا أَخْبَرَنَا أَبُو
الْحُسَيْنِ بْنُ بِشْرَانَ، أنا أَبُو جَعْفَرٍ الرَّزَّازُ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ
إِسْحَاقَ بْنِ صَالِحٍ، ثنا خَالِدُ بْنُ خِدَاشٍ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ
الْمُثَنَّى الْأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنِي بَعْضُ أَهْلِ بَيْتِي، عَنْ أَنَسِ بْنِ
مَالِكٍ، أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ، قَالَ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّكَ رَغَّبْتَنَا فِي السِّوَاكِ فَهَلْ دُونَ ذَلِكَ مِنْ
شَيْءٍ؟ قَالَ: " أُصْبُعَاكَ سِوَاكٌ عِنْدَ وُضُوئِكَ تُمِرُّهُمَا عَلَى
أَسْنَانِكَ، إِنَّهُ لَا عَمَلَ لِمَنْ لَا نِيَّةَ لَهُ، وَلَا أَجْرَ لِمَنْ
لَا حِسْبَةَ لَهُ "
(Maktabah
al-Syamilah, Ahmad binal-Husain bin Ali bin Musa al-Khusronujirdi al-Khorosani
Abu Bakar al-Baihaqi, I, 179: 67)
Hadits dari Anas.
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ، حَدَّثَنَا أَبُو الْحَسَنِ الرَزَّاز،
حَدَّثَنَا أَبُو حَنِيفَةَ الْوَاسِطِيُّ، حَدَّثَنَا عُبَيدالله بْنُ مُحَمَّدٍ
الحَلَبيّ، حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ عَطِيَّة الصَّفَّار، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ
أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلَّم يَقُولُ: ((نِيَّة
المؤمِن أَبْلَغُ مِنْ عملِه))
Hadits ini merupakan hadits dho’if, disebabkan adanya
beberapa sanad yang cacat, yakni Yusuf bin Athiyah, Ubaidillah bin Muhammad
al-Halbi, dan Abu Hanifah al-Wasithi. Hadits ini ditakhrij oleh al-Baihaqi bab
Syu’bu al-Iman (5/343), al-Qodho’i dalam kitab Musad al-Syihab (1/119),
al-‘Askari bab al-Amtsal kitab Kasyfu al-Khifa (2/430). Ibn Dahiyah berkata
hadits ini tidak shohih, al-Baihaqi berkata sanad hadits ini dhoif, dan
Hafidz Ibn Hajar menyatakan hadits ini dho’if dalam kitab musnad
al-Syihab bab Syu’bu al-Iman (5/343), Fathu al-Bari (4/219),
Fawaidal-Majmu’ah (h 250),’Aun al-Ma’bud (2/335). (Maktabah al-Syamilah,
Shodruddin al-Ashbahani, II, 665:743)
2.
Syarat
Niat
Jumhur ulama, menjadikan niat sebagai rukun yang menentukan sah
atau batalnya suatu ibadah. Namun, dalam pelaksanaan niat terdapat beberapa
syarat yang harus terpenuhi sehingga niat seorang mukallaf dianggap sah. Para ulama berbeda-beda dalam
menetapkan persyaratan dalam niat, Abu Muhammad Sholih bin Muhammadbin Hasan
Ali ‘Umayyar al-Asmiri dalam kitabnya Majmu’ah al-Fawaidh al-Bahiyah ‘ala
Mandzumah al-Qawaidh al-Fiqhiyyah (juz I: 35), menjelaskan bahwa suatu niat
bisa sah jika memenuhi syarat berikut:
a.
Islam,
apabila orang kafir berniat untuk bertaqorrub dan ikhlas, maka niatnya tidak
sah.
b.
Tamyiz,
orang yang hilang akal dan anak kecil yang belum tamyiz. Madzhab Hanbali
membatasi tamyiz pada umur tujuh tahun berdasarkan hadits Nabi Saw:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مُرُوهُمْ بِالصَّلَاةِ
لِسَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِثَلَاثَ عَشْرَةَ
c.
Mengetahui
apa yang diniatkannya (manwiy). Bagi seseorang yang berniat, maka dia
disyaratkan mengetahui apa yang akan diniatinya, sehingga tidak sah jika orang
tersebut tidak mengetahui apa yang akan dia niatkan.
d.
Tidak
mengerjakan sesuatu yang menghalangi sahnya perbuatan tersebut. Contohnya, jika
seorang muslim berniat hendak melaksanakan sholat, namun kemudian dia murtad sebelum
melakukan apa yang diniatkannya tersebut,, maka amal ataus sholatnya tersebut
menjadi fasid.
Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah
wa al-Nadzhair (35-38) sependapat dengan Umayyar Samiri dalam persyaratan
niat seperti diatas. Muhammad Mustofa al-Zuhaily dalam kitabnya al-Qowa’id
al-Fiqhiyyah wa Tathbiqotiha fi al-Madzahib al-‘Arba’ah (juz I: 64),
mensyaratakan niat dengan beberapa hal, yakni: tamyiz, mengetahui apa yang
diniatkan, tidak adanya sesuatu yang menghalangi, dan menambahkan niat untuk
ibadah.
3.
Rukun
Dalam pelaksanaanya, niat adalah suatu yang kondisional tergantung
pada manwi (objek yang di niati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang
kita niati adalah menghilangkan ‘penghalang’ sholat seperti hadats. Lain lagi
dengan sholat; dalam sholat yang di niati adalah melakukan beberapa pekerjaan
dan ucapan tertentu yang di mulai dengantakbir dan di akhiri dengan salam.
Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu
berbeda-beda tergantung status shalat yang dikerjakan.
a.
Apabila yang
dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus terpenuhi yaitu : Qashdul
fiil, Ta’yin dan niat fardlu
b.
Apabila
berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan sebab tertentu maka
ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul fiil dan Ta’yin
c.
Apabila
berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah Qashdul fi’il. (http://fikihilmiah.blogspot.co.id/2012/01/bab-ii-pembahasan-al-umuru-bi.html,
diakses padajam 23.00 tanggal 01 Oktober 2017).
C.
Sebab-Sebab disyariatkan Niat/ Maqashid
Menurut al-Suyuti, yang paling penting dari disyariatkannya niat adalah untuk
membedakan antara ibadah dengan adat
kebiasaan. Selain itu, juga untuk mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah,
seperti wudhu dan ghusl (mandi) dapat diartikan sebagai membersihkan
diri (tandzhif), mencari kesegaran (tabarrud),dan ibadah.
Begitu juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang
membatalkan puasa, dapat diartikan sebagai hammiyah (kesehatan badan),
berobat, dan karena tidak ada yang memerlukannya. Demikian pula, duduk dimasjid
dapat diartikan sebagai istirahat, memberikan barang kepada orang lain dapat
berarti sebagai hibbah, menyambungkan tali sialaturaahmi, atau karena
maksud-maksud duniawi, dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub)
seperti zakat, sodakoh, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat bertujuan
untuk makan, dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt
karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam hal ini, niat disyari’atkan
untuk membedakan antara yang taqarrub dan yang bukan.
Setiap ibadah, seperti wudhu, gushl (mandi), salat, dan saum
(puasa) kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nadzar, dan nadb
(sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah,
adalah cara pelaksaaannya sama. Karena inilah, niat disyariatkan untuk
membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
Muhammad Hasan Abdul Ghofar dalam kitab al-Qowaidh al-Fiqhiyyah
bayna al-Aholih wa al-Taujih (juz II: 8) menjelaskan beberapa hal tentang
pentingnya niat, yakni:
1.
Sebagai
pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan. Praktik ibadah sebagian besar
merupakan kegiatan atau pekerjaan yang sudah menjadi adat kebiasaan. Contohnya
adalah mandi, mungkin saja seorang suami yang telah menjima’ istrinya atau ihtilam
kemudian ia mandi janabah, dan dimungkinkan juga dikarenakan cuaca yang panas
kemudian ia mandi untuk menyejukkan badannya. Berdasarkan kedua kemungkinan
tersebut, diketahui bahwa mandi bisa menjadi suatu ibadah, atau juga bisa
merupakan suatu adat kebiasaan, sehingga untuk membedakan antara ibadah dan
adat adalah dengan mengetahui niat atau maksud orang tersebut melakukan mandi.
2.
Pembeda
antara suatu ibadah dengan ibadah yang lain, yakni antara ibadah fardhu,
sunnah, nadzar, atau kafarat. Sebagai contoh, jika seseorang hendak
melaksanakan sholat dzuhur dengan niat sunnah maka yang mejadi hukum adalah
solat sunnah dzuhur,dan dia tidak dianggap melaksanakan sholat fardhu dzuhur.
3.
Merubah
adat kebiasaan menjadi ibadah. Tidur merupakan bentuk kegiatan adat kebiasaan
yang mubah, namun jika tidurnya orang muslim diniatkan untuk dapat
bangun melaksanakan sholat malam, maka setiap detik, jam, dan nafas yang keluar
mendapatkan pahala. Hal ini sebagaimana qaidah yang dikemukakan oleh Ibn
Mas’ud:
والله! إني لأحتسب نومتي كما أحتسب قومتي
4.
Membedakan
antara ma’na ucapan dan dilalah ucapan. Contohnya seorang suami berkata
kepada istrinya, “pergilah kamu ke keluargamu!”, jika suami berniat mentalak
istrinya, maka terjadilah talak, namun jika tidak berniat, maka tidak terjadi
talak.
5.
Bertaqarrub
kepada Allah. Niat menjadi penentu antara suatu yang ihlas,dan amal ria.
D.
Pembagian Maqashid
Niat terbagi kedalam beberapa bagian,yakni:
1.
Pembagian
niat berdasarkan ta’kid (penguat) atau tidaknya ta’kid terbagi
kedalam dua macam, yaitu:
a.
Niat
muakkadah (penguatan). Jika seseorang bersumpah, berkata, “demi Allah
aku tidak naik mobil hari ini”. Apabila ia berniat yang dimaksud dengan mobil
adalah semua macam mobil, maka niatnya menjadi penguat lafadz yang ia ucapkan,
hal ini karena lafadz yang dia ucapkan merupakan lafadz umum yang mencakup
semua macam mobil dan niatnya mencakup makna lafadz yang dia ucapkan tersebut.
Hal ini berdampak pada masalah kifarat, jika ternyata dia menaiki mobil
tertentu, maka dia diwajibkan kifarat.
b.
Niat
Mukhosis (pengkhususan). Jika orang yang bersumpah diatas berniat
mengkhususkan kendaraan yang dinaiki, seperti mobil angkot, maka niatnya
tersebut mengkhususkan lafadz yang dia ucapkan tersebut. Sehingga jika dia naik
mobil damri maka dia tidak wajib kifarat.
2.
Pembagian
niat ditinjau dari maksudnya suatu amal, ada dua macam,yaitu:
a.
Niat
sebagai penetapan hukum suatu perbuatan, artinya niat tersebut menjadi suatu
yang harus ada pada amal tersebut sehingga amal itu dianggap sebagai ibadah,
dan jika tanpa niat maka amalnya menjadi batal.
b.
Niat
sebagai fadhilah amal, artinya walaupun suatu pekerjaan tersebut dilakukan
tanpa ada niat, maka tidak mempengaruhi sah atau batalnya amal tersebut.
Contohnya adalah niat membersihkan najis pada pakaian.
3.
Pembagian
niat ditinjau dari wujudnya pekerjaan (hakikat) dan tidak adanya
pekerjaan (hukmiyat), yaitu:
a.
Niat
hakiki, yakni niat yang wujud perbuatannya benar-benar dilakukan oleh
seseorang, niat ini yang menjadi syarat awal suatu ibadah.
b.
Niat
hukmiyah, yakni suatu niat yang dihadirkan dan ditetapkan oleh
seseorang, namun perbuatannya tidak dilakukan. Seperti niat puasa ketika ia
akan tidur.
E.
Kaidah-kaidah yang masuk dibawah Kaidah al-umur bi Maqashidiha dan
aplikasinya
1.
Kaidah-kaidah
Ada beberapa kaidah yang berkaitan dengan kaidah الأمور بمقاصدها, yakni:
a.
العبرة
فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
Artinya:
Pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan
ungkapannya.
Sebagai contoh,
apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya,
tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah,
tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan
akad jual beli dengan segala akibatnya.
b.
لواختلف
اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب
Artinya:
Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati
(diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati).
Sebagai contoh,
apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota
badan, maka wudûnya tetap sah.
c.
لايلزم
نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله
Artinya: Tidak
wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang
dikerjakan.
Contoh: untuk
shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.
d.
كل
مفرضين فلاتجزيء النية واحدة الا الحج والعمرة
Artinya: Setiap
dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan
'umrah).
Seperti
diketahui dalam pelaksanaan ibadah haji ada tiga cara:
1)
Pertama
yaitu haji tamatu, yaitu mengerjakan umrah dahulu baru mengerjakan haji, cara
ini wajib membayar dam.
2)
Kedua
yaitu haji ifrad, yaitu mengerjakan haji saja, cara ini tidak wajib membayar
dam.
3)
Ketiga
yaitu haji qiron, yaitu mengerjakan haji dan umrah dalam satu niat dan satu
pekerjaan sekaligus. Cara ini juga wajib membayar dam. Cara ketiga ini lah haji
qiron yang dikecualikan oleh kaidah tersebut di atas. Jadi prinsipnya setiap
dua kewajiban ibadah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat
tersendiri.
e.
كــل
ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية
Artinya: Setiap
perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena
semata-mata niat).
Contoh:
seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah
kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Pendapat ini
dipegang oleh mazhab Abu Hanafiah dan juga mazhab Malik. Kasus ini berbeda
dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah
hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum
makan apa-apa.
f.
مقاصد
اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى
Artinya: Maksud
yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan).
Kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qadi.
Dalam keadaan demikian
maka maksud lafaz adalah menurut niat qadi. Berdasarkan kaidah ini, maksud
kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus
dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang
dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah.
Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah.
g.
الأيمان
مبنية على الألفاظ والمقاصد
Artinya: Sumpah
itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud.
Khusus untuk
sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallahi" atau
"demi Allah saya bersumpah" bahwa saya......dan seterusnya. Selain
itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya. Dalam hukum Islam,
antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya
harus ikhlas, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk
mencapai keridhaan Allah SWT.
h.
النية
فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص
Artinya: Niat
dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang kḣas.
Penerapan kaidah
fikih ini dapat diamati dalam keadaan kasus orang yang bersumpah. Apabila
seseorang bersumpah tidak akan mau berbicara dengan manusia tetapi, yang
dimaksudkannya hanya orang tertentu.
Contoh: yaitu
Umar, maka sumpahnya hanya berlaku terhadap Umar. Hal serupa juga berlaku pula
pada orang yang menerima minuman dari orang lain. Lalu orang yang
menerima minuman bersumpah tidak akan memanfaatkan minuman itu, tetapi
diniatkan untuk semua pemberiannya, maka ia tidak dinilai melanggar sumpah
apabila ia menerima makanan atau pakaian pemberiannya dan kemudian memanfaatkan
untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
i.
ومايشترط
فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
Artinya: pada
suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya,
maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal.
kaidah fikih
yang menyatakan bahwa kesalahan dalam niat untuk amal yang menuntut kejelasan
niat, kesalahan berimplikasi terhadap batal amal tersebut.
j.
ومايجب
التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر
Artinya: Sesuatu
amal yang niatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperinci,
kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan
sahnya amal.
Contoh seorang
yang berniat menjadi makmum dari imam bernama Bayu, pada hal imamnya bernama
Wisnu, maka solatnya menjadi batal, sebab yang wajib baginya hanya ta’yin
secara global, yaitu hanya berniat makmum, tetapi tidak diwajibkan ta’yin
secara terinci, yaitu menentu siapa nama imamnya. Jika demikian, solatnya
dianggap batal dan tidak sah.
k.
مالايشترط
التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر
Artinya:
Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk
dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara
terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak
membahayakan (sahnya amal).
Melalui kaidah
fikih ini dapat ditegaskan orang yang menyatakan niat bahwa tempat pelaksanaan
sholatnya dimasjid atau musalla atau menyebutkan hari tertentu imam tertentu
dalam sholat berjamaah, lalu terbukti kemudian apa yang dinyatakan dalam niat
itu keliru, maka sholat yang bersangkutan tetap sah secara hukum. Hal ini
mengingat sholat yang dilakukan orang tersebut secara sempurna. Sementara
kekeliruan niat terjadi hanya pada sejumlah persoalan yang tidak mempunyai
kaitannya dengan sholat.
Contoh: orang
yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid
atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat
jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya
tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan
hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat
2.
Aplikasi
Abdul Hamid Hakim dalam kitab al-Bayan (2008: 63) menyebutkan bahwa
kaidah ini berkaitan kedalam beberapa hukum, yakni ¼ bab ibadah, ¼ Mu’amalah, ¼
Munakahat, dan ¼ Jinayat. Aplikasi kaidah ini dalam hal ibadah diantaranya pada
masalah wudhu dan mandi fardu atau sunnah, begitu juga dalam hal macam-macam
sholat, fardu ‘ain, kifayah, rowatib, sunnah, qashr, jama’, menjadi imam,
ma’mum. Puasa fardu, sunnah,i’tikaf, haji, dan umroh.
Muhammad Mustofa al-Zulaihi (juz I: 65-72) mengaplikasikan kaidah al-umur
bi Maqasidiha kedalam 26 contoh, diantaranya:
a.
Tanggungan
dan kepemilikan harta, kaidah ini berlaku pada beberapa permasalahan seperti
jual beli,perdagangan, akad damai, dan hibbah, apabila seseorang yang hendak
mentasharufkan hartanya, maka proses pentasarufan tersebut sesuai dengan niat
seseorang tersebut, apabila orang tersebut berniat mentasarufkan hartanya untuk
hibbah, maka hukum yang terjadi adalah hibbah, bukan jual beli,wakaf atau hukum
lain yang berlainan dengan niatnya.
b.
Perwakilan,
apabila seseorang mewakilkan orang lain untuk membeli sesuatu, maka si wakil
tentu akan membeli sesuatu yang diperintahkan muwakil, namun terdapat beberapa
permasalah dalam hal ini: (a) jika membeli sesuatu tersebut dengan niat bahwa
barang tersebut diberikan kepada muwakil atau dengan biaya dari muwakkil, maka
sesuatu tersebut akan menjadi milik muwakkil, (b) jika si wakil berniat membeli
untuk dirinya sendiri atau dengan biaya sendiri, maka seseuatu yang diberli
tersebut menjadi milik si wakil. Namun, jika kedua orang tersebut (wakil dan
muwakkil) berdusta dalam niat, maka sesuatu yang diberli tersebut akan menjadi
milik orang yang memiliki ongkos/ biaya, karena adanya biaya menunjukkan bahwa
orang yang memiliki biaya tersebut berniat untuk membeli sesuatu tersebut untuk
dimilikinya.
c.
Penjagaan,
yakni dalam hal kepemilikan sesuatu yang mubah, salah satu syarat untuk dapat
memiliki sesuatu adalah dengan adanya niat. Apabila seseorang menaruh wadah
disuatu tempat untuk menampung air hujan, maka kepemilikan air yang berada di
wadah tersebut ada 2 kemungkinan, yakni: (a) apabila sipemilik wadah tersebut
dengan sengaja menempatkan wadah tersebut untuk menampung air hujan, maka akan
menjadi miliknya; (b) jika sipemilik wadah tidak ada niat untuk menampung air
hujan pada wadah yang ia tempatkan, maka ia bukan pemilik air hujan yang
terkumpulkan tersebut, dan jika ada orang lain mengambil air yang tertampung
diwadah, maka dia berhak untuk memilikinya.
d.
Tanggungan
dan amanah, misalnya dalam hal luqotoh, apabila multaqith berniat
untuk menjaga barang luqotoh yang ia temukan, maka barang tersebut
menjadi amanah baginya, namun jika multaqith berniat untuk memiliki bagi
dirinya sendiri, maka hal tersebut termasuk kedalam ghosob.
e.
Siksa,
seperti qishos, pelaksanaan qishos bergantung pada maksud dan
tujuan si pelaku untuk membunuh.
f.
suami
berkata kepada istrinya, “kamu bagiku seperti punggung ibuku”. Apabila berniat
mendzihar istri, maka hal tersebut menjadi dzihar, namun, jika ia berniat untuk
memuliakan, maka ucapannya merupakan memuliakan, jika berniat talaq, maka yang
menjadi hukum ucapan tersebut menjadi talak bagi suami terhadap istri.
g.
Seseorang
berkata, “ambillah uang ini”. Apabila ia berniat bertabarru’ (berbuat baik),
maka hal tersebut menjadi hibbah, namun, jika tidak ada niat tabarru’ maka
menjadi pinjaman yang harus dikembalikan.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Makna
kaidahal-Umur bi Maqashidiha adalah bahwa sahnya segala perbuatan tergantung
pada niatnya, kepentinngannya niat sebagai penentu sah atau batalnya suatu
ibadah.
B.
Dalil
kaidah al-umur bi maqoshidiha adalah al-Qur’an Ali Imran ayat 145, an-Nisa ayat 100, al-Ahzab ayat 5. Hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat Umar. Syarat niat adalah Islam, berakal, mengetahui apa yang diniatkan
(manwi), dan dimaksudkan untuk ibadah.
Adapun rukunnya adalah kondisional bergantung pada apa yang diniatkannya, namun
secara umum niat terdiri dari qashdu dan fi’li. Niat terbagi
kedalam beberapa hal, yakni: ditinjau dari muakkadah dan mukhoshis,
lilmaqoshid dan fadhilah, hakiki dan hukmiyah.
C.
Kaidah
al-Umur bi Maqoshidiha berlaku kedalam semua bidang fiqh, sehingga dalam
pelaksaannya terdapat beberapa kaidah-kaidah yang termasuk kedalam kaidah
al-umur bi maqoshidiha tersebut, adapun macam-macam kaidah dan aplikasinya
sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hamid Hakim, 2008, al-Bayan, Jakarta,Sa’diyah Putra.
Abu
Daud Sulaiman, Sunan Abi Daud. Maktabah al-Syamilah
Ahmad
bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Maktabah al-Syamilah
Ahmad bin Syaikh Muhammad al-Zarqad, 1989, kitab Syarh al-Qowa’idal-Fiqhiyyah,
Darul Qolam, Damaskus.
Ashbahani,
Shodruddin, at-Thuyuriyat. Maktabah al-Syamilah.
Baghawi,
Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Tafsir al-Baghawi. Maktabah
al-Syamilah.
Baihaqi,
al-Khorosani, al-Sunan al-Kubro lil
al-Baihaqi. Maktabah al-Syamilah.
Bazzar,
Abu Bakar Ahmad, Bahru al-Zukhor Musnad al-Bazzar: Maktabah al-Syamilah.
Bukhori,
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al, Sohih Bukhori. Maktabah
al-Syamilah.
Hasan
Abdul Ghofar, Muhammad, al-Qowaidh al-Fiqhiyyah bayna al-Aholih wa al-Taujih.
Maktabah al-Syamilah.
Ibn
Bathol Abu al-Hasan, Syarh Shohih Bukhori. Maktabah al-Syamilah.
Ibnu
Majjah, Sunan Ibn Majjah. Maktabah al-Syamilah.
Jauzi,
Jamaluddin Abu al-Farj, Kasuful al-Musyikil min Hadits al-Shohihain. Maktabah
al-Syamilah.
Malik
Bin Anas, Muwatho. Maktabah al-Syamilah.
Mardawi, Alauddin Abu
al-Hasan Ali bin Sulaiman, Tahbir Syarh al-Tahrir fi Ushul Fiqh. Maktabah
al-Syamilah.
Moh rifa’i dan Rosihin Abdul Ghoni, 1991, Al-Quran dan
Terjemahnya, Semarang
Muhammad
Mustofa al-Zuhaily, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqotiha fi al-Madzahib
al-‘Arba’ah. Maktabah al-Syamilah.
Muslim
bin Hujaj, Shohih Muslim. Maktabah al-Syamilah.
Nasai,
Abu Abdurrahman, Sunan al-Sughro li an-Nasai. Maktabah al-Syamilah.
Suyuthi,
Abdurrahman bin Abi Bakr Jalaluddin, al-Asybah wa al-Nadzhair. Maktabah
al-Syamilah.
Taqiyyuddin Abu
al-Baqa’ Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz bin Al-Futuhi. Maktabah
al-Syamilah.
Turmudzi,
Muhammad bin Isa, Jami’ul Kabir Sunan Turmudzi. Maktabah al-Syamilah.
Umayyar
al-Asmiri, Abu Muhammad Sholih bin Muhammad bin Hasan Ali, Majmu’ah
al-Fawaidh al-Bahiyah ‘ala Mandzumah al-Qawaidh al-Fiqhiyyah. Maktabah
al-Syamilah.
Zuhaily,
Muhammad Mustofa, al-Qowa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqotiha fi al-Madzahib al-‘Arba’ah.
Maktabah al-Syamilah.
Situs Judi Online Casino Site, Live Casino & Slot Gacor, Judi
BalasHapusLucky Club Situs Judi luckyclub Online Casino Site, Live Casino & Slot Gacor, Judi Bola, Poker, Casino, Slot Games, TopTrend Gaming, Jackpot Baccarat.