PENAFSIRAN SURAT AN-NISA AYAT 3 TENTANG POLIGAMI DAN PERKEMBANGAN HUKUM POLIGAMI DI NEGARA ISLAM ZAMAN SEKARANG
PENAFSIRAN
SURAT AN-NISA AYAT 3 TENTANG POLIGAMI
DAN PERKEMBANGAN
HUKUM POLIGAMI
DI
NEGARA ISLAM ZAMAN SEKARANG
Oleh: Wildan
Maolana.
A.
Tafsir Ayat
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا
تَعُولُوا
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim , maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (Q.S. An-Nisa’: 1-3).[1]
Arti Perkata
Lafadz وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي اليتامى berarti
apabila ada seorang anak yatim berada dibawah tanggunganmu, namun kamu khawatir
tidak mampu memberikan mahar mitsil kepadanya, maka tinggalkanlah ia, dan
carilah wanita lain selain anak yatim tersebut. Lafadz, فانكحوا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النسآء مثنى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ berarti nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi selain anak yatim
itu, jika kamu menghendaki nikahilah dua wanita, tiga wanita, dan empat wanita.
Lafadz, فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً apabila
kamu khawatir tidak mamu berlaku adil diantara isteri-isteri, maka kurangilah
menjadi satu saja. Lafadz أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ berarti
perintah untuk menikahi wanita hamba sahayanya. Lafadz ذلك أدنى أَلاَّ تَعُولُواْ berarti
perintah untuk membatasi istri menjadi satu atau menikahi hamba sahayanya itu
lebih dekat untuk tidak berlaku aniaya.[2]
Asbabun Nuzul
Ali
bin Muhammad al-Jauzi menyatakan bahwa, terdapat perbedaan pendapat mengenai
asbabun nuzul ayat ini, yakni.[3]
1.
Bangsa
Arab pra-Islam, para laki-laki menikahi wanita banyak wanita pada jaman
Jahiliyah, dan mereka tidak memberlakukan isteri-isteri mereka secara adil, dan
bahkan seringkali memperlakukan wanita-wanit yatim yang dinikahinya secara keras
dan memaksa. Oleh karena itu, turunlah ayat ini yang melarang para suami tidak
berlaku adil terhadap istri-istrinya, begitu juga perintah untuk menjaga harta
peninggalan orangtua wanita yatim yang dinikahinya. Pendapat ini diungkapkan
oleh Marwi dari Ibnu Abbas,Sa’id bi Jabir, Dhohak, Qotadah, Sadi, dan Muqothil.
2.
Ayat
ini turun berkaitan dengan perilaku wali anak yatim yang menyelewengkan harta
yang dimiliki anak yatim tersebut, wali itu melangsungkan pernikahan
dengan wanita-wanita lain menggunakan biaya
dari harta anak yatim yang berada dibawah pengampuannya. Selain itu, jika mereka menikahi anak yatim,
mereka justru condong kepada harta anak yatim tersebut. , maka ayat ini turun
untuk membatasi pernikahan hingga empat sebagai upaya untuk menjaga harta anak
yatim itu. Pernyataan ini diungkapkan
oleh Marwi dari Ibn Abbas, dan Ikrimah.
3.
Apabila
para wali anak yatim hawatir tidak mampu berlaku adil dalam hal mahar tatkala
menikahi mereka, maka nikahilah wanita-wanita selain mereka. Hal ini diungkapkan
oleh Marwi dari Siti ‘Aisyah
4.
Apabila
parawali yatim hawatir tidak mampu berlaku adil ketika menikahi mereka, dan
khawatir berlaku buruk, dan sedikitnya harapan kepada mereka,maka nikahilah
wanita-wanita selain mereka, hal ini diungkapkan oleh Marwi dari Siti ‘Asiyah juga
dan Hasan.
5.
orang-orang
jahiliyah selalu mempersulit permasalahan mengenai perwalian terhadap anak
yatim, maka ayat ini memerintahakan kepada mereka untuk menjaga menjaga
anak-anak yatim dari perbuatan zina, dan dianjurkan untuk menikahinya,
diungkapkanoleh Marwi dari Mujahid.
6.
orang-orang
menyulitkan dalam permasalahan menikahi wanita yatim, seperti halnya
menyulitkan harta mereka, maka Allah merukhsah mereka dengan ayat ini, dan
membatas jumlah istri yang memungkinkan suami berlaku adil. begitu juga
ungkapan yang menyatakan bahwa, apabila pra wali anak yatim itu tidak mampu
berlaku adil kepada mereka, maka nikahilah mereka, dengan batasan tidak
melebihi dari empat wanita agar ai dapat berlaku adil, namun jika ia tetap
tidak mampu berlaku adil kepada istri-istri mereka, maka cukuplah satu saja.
Hal ini diungkapkan oleh Marwi dari Hasan.
Tafsir ulama
Khoiruddin Nasution, menjelaskan beberapa penafsiran para ulama
mufassir mengenai kedua ayat diatas, yakni sebagai berikut:[4]
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310H), ketika membahas kedua ayat diatas
mengutip banyak pendapat. Dari sekian kupasan tentang ayat 3, menurut
Al-Thobari, yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan, bahwa
makna al-Nisa ayat 3, merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali
berbuat adil terhadap harta anak yatim. Maka kalau sudah khawatir terhadap
harta anak yatim, mestinya demikian juga khawatir terhadap wanita. Maka
janganlah menikahi mereka kecuali dengan wanita yang kalian yyakin bisa berbuat
adil, satu sampai empat wanita. Sebaliknya, kalau ada kekhawatirantidak bisa
berbuat adil, ketika poligami, maka seseorang cukup menikahi seorang wanita
saja. Bahkan kalau dengan itu pn masih ada kekhawatiiran, maka cukup dengan
menikahi budak wanita yang dimiliki. Sebab, dengan menikahibudak lebih
memungkinkan tidak akan berbuat penyelewengan.[5]
Al-Jashshash (w 370H/ 980M) memberikan komentar lain mengenai surat
al-Nisa ayat 3. Menurutnya, ayat ini berkenaandengan anakyatim yang dinikahi
walinya. Pendapat ini didasarkan oleh Al-Jashshash pada satu riwayat hadits
dari Urwah, yang mengatakan , seorang wali dilarang menikahi seorang anak yatim
yang ada dibawah pengampuannya hanya karena alasan kecantikan dan harta anak
tersebut. Sebab dikhawatirkan para wali tersebut memperlakukan anak yatim yang
ada di bawah pemeliharaannya secara tidak adil. Karenanya, lebih baik mereka
menikahi wanita lain.[6]
Al-Zamakhsyari (w 538H) mengartikan al-Nisa ayat 3, sebagai kalau
takut tidak bisa berbuat adil dalammemberikan hak-hak anak yatim, maka jauhilah
menikahi mereka. Demikian juga kalau takut berbuat zina,maka nikahlah dengan
wanita yang halal. Dengan kata lain, arti kata thaba dalam ayat ini
diartikan dengan halal oleh Al-Zamakhsyari. Sebab, sudah merupakan tradisi
orang Arab pra-islam menikahi wanita yatim yang ada di bawah pengampuannya.
Sayangnya alasan menikahinya hanya karena kecantikan dan hartanya. Lebih
dari itu, orang Arab pra-Islam tidak
memberikan mahar ketika menikahi anak yatim tersebut. Sementara menikahi anak
yatim dengan tidak memberikan hak-haknya secara adil, termasuk mahar, sama
dengan menikahi wanita dengan jalan haran. Keduanya merupakan perbuatan haram
yang harus dijauhi. Maka untuk menjauhi kedua tindakan dosa ini disuruh untuk
menukahi wanita diluar anak yatim yang halal.[7]
Ibn Qayyim ( w
751H), dalam membahas al-Nisa ayat 3 ini lebih menekankan pada kata dzalika
adna anla ta’ulu. Dengan mengutip pendapat al-Kasau, Ibn Qayyim mengatakan
bahwa poligami sampat empat dibolehkan dengan syarat bisa berbuat adil terhadap
istri-istrinya dan tidak berbuat aniaya (dzhalm0. Sebaliknya, kalau
tidak mampu berbuat adil atau bahkan akan menimbilkan aniaya,maka hendaklah
seorang menikahi satu wanita saja atau budak.maka bisa disebut bahwa arti dzalika
adna anla ta’ulu sama artinya dengan
la tajuru atau la tamilu (tidak condong).[8]
Al-Syawkani (w.
1250H/ 1832M) menyebutkan , bahwa sebabturunnya ayat ini berhubungan dengan
kebiasaan orang Arab pra-Islam, dimana para wali yang ingin menikahi anak
yatim,tidak memberikan mahar yang jumlahnya sama dengan mahar yang diberikan
kepada wanita lain. Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang sama
antara wanita yang taim dan non yatim, Allah menyuruh untuk menikahi wanita
yang non yatimsaja, maksimal empat wanita, dengan syarat bisa berbuat adil.
Sedangkan kalay takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu saja.[9]
Al-Qasimi (w 1332W/ 1914H) menyatakan bahwa, untuk bisa menikahi
lebih dari satu tergantung pada keluasan cara berpikir suami, kemampuan
mengendalikan rumah tangga, dan kematangan dalam mengurusi segala hal dalam
masyarakat (mu’amalah). Dia kemudian menekankan, bahwa hanya pria yang
istimewa yang bisa melakukan hal-hal tersebut..[10]
Al-Maraghi menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut di
surat al-Nisa ayat 3, merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat.
Menurutnya diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa
dilakuakn oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Dia kemudian
mencatataidah fiqhiyyah dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih.
Pencatatan ini dimaksudkan, barangkali, untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk
hati-hati dalam melakukan poligami.[11]
Alasan-alasan yang membolehkan berpoligami,menurut al-Maraghi,
adalah:[12]
1.
Karena
istri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan
keturunan.
2.
Apabila
suami memiliki kemampuan seks yang tinggi, sementara istri tidak akan mampu
meladeni sesuai dengan kebutuhannya.
3.
Kalau
si suami mempunyai harta yang banyak untuk membiayai segala kepentinngan
keluarga, mulai dari kepentingan isteri, smapai kepentingan anak-anak.
4.
Kalau
jumlah wanita melebihi dari jumlah pria, yang bisa jadi dikarenakan terjadinya
perang.
Sayyid Qutub (w 1966M), mengatakan bahwa poligami merupakansuatu
perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa
dilakukanhanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun
masih disyaratkan bsa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut
di sini termasukdalam bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, serta pembagian
malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan
cukup satu saja. Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh
poligami dengan maksiamal hanya empat isteri.[13]
Berdasarkan
dari beberapa pendapat para ulama mufassir, dapat diketahui bahwa surat al-Nisa
ayat 3 menerangkan tentang kebolehan seorang muslim menikahi seorang wanita
lebih dari satu dengan batasan sampai 4, namun dengan syarat bahwa ia harus
mampu berlaku adil terhadap wanita-wanita yang dinikahinya, baik dari segi
hak-hak maupun kewajiban setiap istri-istrinya. Selain itu, ayat ini juga merupakan
sebuat dekonstruksi hukum baru dalam menyikapi tradisi hukum perkawinan Arab
pra-Islam, yakni penghapusan deskriminasi terhadap antara anak yatim yang
berada di bawah pengampuannya ataupun bukan. Karena tradisi mereka ketika
menikahi anak yatim yang berada dibawah pengampuannya, mereka tidak memberikan
mahar. Sehingga ayat ini menjadi sebuah perintah baru untuk berlaku adil kepada
anak yatim yang berada dipengampuannnya.
B.
Pesan Utama
Berdasarkan penafsiran ulama diatas, maka dapat dipahami bahwa,
surat an-Nisa ayat 3 memiliki beberapa pesan utama,yakni:
1.
Pesan
Utama (dharuriyat),
Maqashid daruriyyat adalah tuuan hukumyang semestinya ada dalam
menegakkan kemaslahatan dunia dan akhirat yang terdiri dari lima kebutuhan
pokok (al-Kulliyah al-khams), yaitu: memeluhara agama, nyawa, akal, keturunan
dan harta.[14]
Poligami merupakan syariat Islam yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan
hidup (hifdz al-Nafas), dan keturunan (hifdz al-nasl). Karena pada dasarnya
sesuai dengan asbabun nuzul ayat ini adalah, banyaknya para mujahid yang wafat
di medan perang menyebabkan banyaknya para isteri dan anak yatim yang
terlantar, maka demi menjaga kehidupan, keturunan dan kehormatan para janda
yang ditinggal mati oleh suaminya atau para anak yatim yang ditinggal mati oleh
ayahnya, Islam memerintahkan kepada para laki-laki untuk menikahi mereka hingga
batas maksimal empat orang. Karena dengan menikahi mereka, maka wanita-wanita
tersebut akhirnya memiliki tempat berlindung baru dan ada pula yang menanggung
kehidupan mereka yakni suami-suami yang menikahi mereka.
2.
pendukung
(hajiyyat)
maqashid hajiyyat adalah tujuann hukum yang diperlukan untuk
memperluas kesempatan, menghilangkan kesempitan dan kesusahan.[15]
pernikahan merupakan upaya untuk memperoleh keturunan, namun apabila tujuan untuk memiliki anak
tersebut tidak tercapai, maka para ulama yang menghukumi poligami sebagai
sebuah rukhsah yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurut saja, maka
poligami boleh dilakukan apabila isteri tidak mampu memperoleh keturunan
(mandul), sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan.
3.
keharmonisan
yang etis dan estetis (tahsiniyyat).
Maqashid tahsiniyat adalah tujuan yang berkenaan dengan tradisi
yang baik dan kemuliaan akhlak dan segala hal yang dapat menghilangkan dan
kesusahan.[16]
Poligami dari segi tahsiniyat adalah, sebagai upaya untuk
memberikan kehidupan yang lebih layak bagi wanita-wanita yatim yang dinikahi,
mereka dapat merasakan ketenangan dan kesenangan kembali setelah ditinggalkan
oleh suaminya yang dulu, dan telah ada suami baru yang dapat
bertanggungjawab dalam hal biaya
kehidupan wanita tersebut dan anaknya.
C.
Fenomena Poligami di Negara Islam Zaman Sekarang.
Berdasarkan penafsiran para
ulama mengenai surat an-Nisa ayat 3, dapat dipahami bahwa pandangan
ulamatradisional membolehkan poligami dengan batasan maksimal 4 siteri. Meskipun berbeda dalam menggunakan dasar (dalil), mereka sepakat
membolehkan poligami, dan tidak ada indikasi dariiulama tersebut menyebutkan
bahwa poligami adalah asas perkawinan dalam Islam.
Pada abad modern seperti sekarang, kecendrungan poligami di dunia
Islam pada umumnya sama yakni membolehkan poligami dengan beberapa pembatasan.
Berikut beberapa penerapan hukum poligami dibeberapa negara Islam.
Menurut M.Atho Mudzhar, ppembatasn poligami bervasiasi bentuknya
dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Di lebanon, berdasarkan
hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917,
poligami tidak dilarang tetapi diharapkan menerapkan prinsipkeadilan kepada
para isteri. Di Maroko uga demikian halnya berdasarkan UU Status Pribadi Tahun
1958. Dalam undang-undang misalnya pada pasal 31 UU, poligami diberikan
pembatasan melalui perjanjian.[17]
Dalam hukum keluarga Yordania No. 61 Tahun 1976 yang kemudian
diubah dengan UU No. 25 Tahun 1977 menyebutkan pembatasanpoligami dengan
perjanian dimana isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan
perkawinan agar membuat perjanian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan
wanita lain maka si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau
dengan sendirinya atuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak isteri.[18]
Di Pakistanpoligamihanyaboleh dilakukansetelah medapat izin dari
isteri pertama danDewan Hakim(arbitrase) yang dibentuk untuk menyelidiki hal
itu.bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara maksimal satu
tahun atau denda 5000 rupis atau kedua-duanya.[19]
UU Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan
pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika
dia membuktikanbahwa pernikahanyang pertama bubar karenakematian, perceraian
atau pernyataan pembatal. Pernikahan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh
pengadilan atas dasar bahwa orang tersebuttelah berumah tangga saat menikah.[20]
Di Tunisa, poligami sama sekali dilarang dan bilaman teradi maka
perkawinan itu dinyatakan tidak sah berdasarkan UUSipil Tahun 1962. Bahkan di
Tunis, larangan poligami itu lebih keras lagi.ketegasanperlarangan poligami tersebut
tampak pada pasal 18 UU tahun 1956 ang menyatakan bahwa laki-laki yang
melakukan poligami dihukum kurungan selama setahun dan denda sebesar 240.000
frank. Aturan ini didasarkan pada al-Qur’an dengan alasan untuk melindungi
hak-hak wanita. Menurut John L Esposito, dasar pelarangan poligami yang
digunakan Pemerintah Tunisa adalah: (1) bahwa poligami, seperti alnya dengan
perbudakan merupakan institusi yang
selamanya tdak dapat diterima mayoritas umat manusia di manapun; (2) ideal
al-Qur’an tentang perkawinan adalah monogami, pandangan ini dirujuk Pemerintah
Tunisa dari pemikiran Muhammad Abduh tentang poligami.
Aturan poligami di Malaysia, terbagi pada 2 kelompok. Pertama,
poligami tanpaizin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan. Kedua,
poligami tanpa izin lebih dahulu dari Pengadilan boleh didaftarkan dengan
syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah
ditentukan.[21]
Di Al-Jazair, hukum keluarga mengenai poligami dibolehkan maksimal
empat, dengan syarat: (1) ada dasar yang melarbelakanginya; (2) dapat memenuhi
keadilan; (3) memberitahukann bahwa ia akanberpoligami, baik pada isteri maupun
kepada bakal isteri.[22]
Poligami di Yaman Selatan diperbolehkan bukan disebabkan
dandikaitkan dengan keadilandan kemampuannafkah sebagaimana yang ditetapkan
daam fiqh klasik, tetapi semata-mata karena adanya halangan untuk melangsungkan
perkawinan yang sehat. Pada pasal 1, sebagaimana yang dicatat Saptoni, poligami
diperbolehkan setelah ada ijin tertulis dari pengadilan.pemberi izin ini
diperoleh berdasarkan salah satu dari 2 alasan, yaitu: (1) isteri mandul yang
dinyatakan oleh dokter dantidak dikethaui sebelumnya;atau (2) isteri menderita
penyakit kronis atau penyakit menular
yang menurut medis tidak bisa disembuhkan,serta penyakit tersebut menghalangi
kelangsungankehidupan rumah tangga.[23]
Hukum keluarga di Somalia menetapkan bahwa poligami hanya dapat
dilakukan dengan izin pengadilan dengan beberapa alasan hukum, yaitu: (1)
isterinya manduldengan bukti surat dari dokter; (2) isteri dipenjara lebih dua
tahun; (3) isteri meninggalkan rumah tanpa izin lebih satu tahun: atau (4) ada
kebutuhan sosial.[24]
Libya membolehkan poligami dengansyarat mendapat izin pengadilan,
dengan pertimbangan: (1) kondisi sosial, (2) kemampuan ekonomi, dan(3) fisik
laki-laki yang memohon.[25]
Berdasarkan penjelasan hukum poligami pada beberapa negara di
duniaIslam,aspek pembaruan dapat dilihat pada upaya mempersulit bolehnya
perkawinan poligami. Hanya saja cara yangdigunakan berbeda antara satu negara
dengan negara lainnya. Khoiruddin Nasution menilahbahwa pembaruan hukum tentang
poligami sangat variatif hiingga dikelompokkan ke dalam 5 hal; (1)poligami
dilarang secara mutlak;(2) dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan tentang
poligami;(3) poligami harus ada izin dari pengadilan;(4) poligami dapat menjadi
alasan cerai, dan (5) boleh poligami secara mutlak. Berbeda dengan Khoiruddin
Nasution, Tahir Mahmood membedakan persoalan ini dan mengelompokkannya ke dalam
6 usaha, yaitu: (1) boleh poligami secaramutlak; (2) poligami dapat
menjadialasan cerai; (3) poligami harus ada izin dari pengadilan; (4)
pembatasan lewat kontrol sosial; (5) poligami dilarang secara mutlak; (6)
dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan tentang poligami.[26]
Perbedaan aturan antara satu negara dengan negara lain selain
disebabkan oleh faktor sosial dan tuntutan. Faktor-faktor pembedaantersebut
dapat dilihat pada beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Tunisa melarang poligami dengan alasan mustahil
seorangsuami berlaku adil terhadap isteri-isterinya, padahal kriteria mampu
berlaku adil ini menjadi syarat mutlak agar suami boleh berpologami. Konteks
dari alasan ini, menurut Khoiruddin Nasution adalah karena negara ini berusaha
menjelaskan kepada masyarakat bahwa pembaruan yang dilakukan di Tunisa sesuai
dan sejaran dengan ajaran Islam, tidak seperti Turki yang mengadopsi sistem
hukum Eropa (Swiss). Selain itu,haliniyangdapat disimpulkan dari UU Tunisa
adalah bahwa dasar pertimbangan menyusun UU bukanhanya dasar konsep murni,
tetapi sudah diapdukan dengan hasil pengamatan praktek poligami yang ada
diTunisa bahwa pelaku poligami disana tidak dapat berlaku adil.[27]
Kedua, Syria, Irak dan Mesir membatasa praktek poligami berdasarkan
pada kekhwatiran kemampuan ekonomi.konteksnya mungkin adalah fakta yangada di
Mesir bahwa kebanyakananak terlantar diakibatkan oleh praktek poligami. Sebab
orang yang melakukan poligami sebenarnya tidak mampu mencukup nafkah satu
keluarga saja. karena itu, usaha untuk membatasi prakek poligamiadalah sebagai
usaha menghindari kasus yang sama di masa yang akan datang.[28]
Ketiga, tampak bahwa konsep taklik talak sedemikian diperluas
penerapannya dalam UU kontemporer untuk memabtasi praktek poligami yang tidak
bertanggungjawab.[29]
Keempat, bahwa kemandulan isteri yang dapat menadi alasan poligami
bukanhanya klaim seperti yang berlaku selama ini, tetapi harus dibuktikan
dengan pemeriksaan dokter yang berwenang seperti ditetapkan UU Somalia. Selain
itu, tuntutan sosial dapat menjadi alasan poligami,seperti tuntutan nas yang
membolehkan poligami. Hanya saja untuk menentukan ada atau tidaknya tuntutan
tersebut ditentutan oleh negara, bukan pribadi-pribadi.[30]
[1] Departemen
Agama RI, hal 61
[2] Ali
al-Shobuni, Shofwatu al-Tafasir, juz I, hal 237
[3] Ali
bin Muhammad al-Jauzi, Zadu al-Misyar fi’ilmi al-tafsir, Juz I, hal 368
[4] Ibid.
[5] ibid
[6] Ibid, 86.
[7] Ibid.
[8] Ibid, 88
[9] Ibid.
[10] Ibid, 89
[11] Ibid, 90
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Asep Arifin,
Ilmu Maqashid al-Syari’ah ilmu teleogia Hukum Islam, Terj, (Maktabah
al-Ubaikah, Bandung, 2001), hal. 42
[15] ibid
[16] ibid
[17] Rahmawati,
Dinamika PemikiranUlama dalam Ranah Pembaruan HukumKeluarga Islam di
Indonesia:Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Lembaga
Ladang Kata, Yogyakarta, 2015), hal 50.
[18] Ibid, 53
[19] Ibid, 54
[20] ibid
[21] Ibid, 55
[22] Ibid,56
[23] ibid
[24] Ibid, 58
[25] Ibid
[26] Ibid,59
[27] Ibid
[28] Ibid, 57
[29] Ibid
[30] Ibid
Komentar
Posting Komentar