PENAFSIRAN SURAT AN-NISA AYAT 3 TENTANG POLIGAMI DAN PERKEMBANGAN HUKUM POLIGAMI DI NEGARA ISLAM ZAMAN SEKARANG



PENAFSIRAN SURAT AN-NISA AYAT 3 TENTANG POLIGAMI
DAN PERKEMBANGAN HUKUM POLIGAMI
DI NEGARA ISLAM ZAMAN SEKARANG
Oleh: Wildan Maolana.
A.  Tafsir Ayat

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim , maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa’: 1-3).[1]

Arti Perkata
Lafadz وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي اليتامى berarti apabila ada seorang anak yatim berada dibawah tanggunganmu, namun kamu khawatir tidak mampu memberikan mahar mitsil kepadanya, maka tinggalkanlah ia, dan carilah wanita lain selain anak yatim tersebut. Lafadz, فانكحوا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النسآء مثنى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ berarti nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi selain anak yatim itu, jika kamu menghendaki nikahilah dua wanita, tiga wanita, dan empat wanita. Lafadz, فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً apabila kamu khawatir tidak mamu berlaku adil diantara isteri-isteri, maka kurangilah menjadi satu saja. Lafadz أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ berarti perintah untuk menikahi wanita hamba sahayanya. Lafadz ذلك أدنى أَلاَّ تَعُولُواْ berarti perintah untuk membatasi istri menjadi satu atau menikahi hamba sahayanya itu lebih dekat untuk tidak berlaku aniaya.[2]
Asbabun Nuzul
Ali bin Muhammad al-Jauzi menyatakan bahwa, terdapat perbedaan pendapat mengenai asbabun nuzul ayat ini, yakni.[3]
1.    Bangsa Arab pra-Islam, para laki-laki menikahi wanita banyak wanita pada jaman Jahiliyah, dan mereka tidak memberlakukan isteri-isteri mereka secara adil, dan bahkan seringkali memperlakukan wanita-wanit yatim yang dinikahinya secara keras dan memaksa. Oleh karena itu, turunlah ayat ini yang melarang para suami tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya, begitu juga perintah untuk menjaga harta peninggalan orangtua wanita yatim yang dinikahinya. Pendapat ini diungkapkan oleh Marwi dari Ibnu Abbas,Sa’id bi Jabir, Dhohak, Qotadah, Sadi, dan Muqothil.
2.    Ayat ini turun berkaitan dengan perilaku wali anak yatim yang menyelewengkan harta yang dimiliki anak yatim tersebut, wali itu melangsungkan pernikahan dengan  wanita-wanita lain menggunakan biaya dari harta anak yatim yang berada dibawah pengampuannya.  Selain itu, jika mereka menikahi anak yatim, mereka justru condong kepada harta anak yatim tersebut. , maka ayat ini turun untuk membatasi pernikahan hingga empat sebagai upaya untuk menjaga harta anak yatim itu.  Pernyataan ini diungkapkan oleh Marwi dari Ibn Abbas, dan Ikrimah.
3.    Apabila para wali anak yatim hawatir tidak mampu berlaku adil dalam hal mahar tatkala menikahi mereka, maka nikahilah wanita-wanita selain mereka. Hal ini diungkapkan oleh Marwi dari Siti ‘Aisyah
4.    Apabila parawali yatim hawatir tidak mampu berlaku adil ketika menikahi mereka, dan khawatir berlaku buruk, dan sedikitnya harapan kepada mereka,maka nikahilah wanita-wanita selain mereka, hal ini diungkapkan oleh Marwi dari Siti ‘Asiyah juga dan Hasan.
5.    orang-orang jahiliyah selalu mempersulit permasalahan mengenai perwalian terhadap anak yatim, maka ayat ini memerintahakan kepada mereka untuk menjaga menjaga anak-anak yatim dari perbuatan zina, dan dianjurkan untuk menikahinya, diungkapkanoleh Marwi dari Mujahid.
6.    orang-orang menyulitkan dalam permasalahan menikahi wanita yatim, seperti halnya menyulitkan harta mereka, maka Allah merukhsah mereka dengan ayat ini, dan membatas jumlah istri yang memungkinkan suami berlaku adil. begitu juga ungkapan yang menyatakan bahwa, apabila pra wali anak yatim itu tidak mampu berlaku adil kepada mereka, maka nikahilah mereka, dengan batasan tidak melebihi dari empat wanita agar ai dapat berlaku adil, namun jika ia tetap tidak mampu berlaku adil kepada istri-istri mereka, maka cukuplah satu saja. Hal ini diungkapkan oleh Marwi dari Hasan.
Tafsir ulama
Khoiruddin Nasution, menjelaskan beberapa penafsiran para ulama mufassir mengenai kedua ayat diatas, yakni sebagai berikut:[4]
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310H), ketika membahas kedua ayat diatas mengutip banyak pendapat. Dari sekian kupasan tentang ayat 3, menurut Al-Thobari, yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan, bahwa makna al-Nisa ayat 3, merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap harta anak yatim. Maka kalau sudah khawatir terhadap harta anak yatim, mestinya demikian juga khawatir terhadap wanita. Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan wanita yang kalian yyakin bisa berbuat adil, satu sampai empat wanita. Sebaliknya, kalau ada kekhawatirantidak bisa berbuat adil, ketika poligami, maka seseorang cukup menikahi seorang wanita saja. Bahkan kalau dengan itu pn masih ada kekhawatiiran, maka cukup dengan menikahi budak wanita yang dimiliki. Sebab, dengan menikahibudak lebih memungkinkan tidak akan berbuat penyelewengan.[5]
Al-Jashshash (w 370H/ 980M) memberikan komentar lain mengenai surat al-Nisa ayat 3. Menurutnya, ayat ini berkenaandengan anakyatim yang dinikahi walinya. Pendapat ini didasarkan oleh Al-Jashshash pada satu riwayat hadits dari Urwah, yang mengatakan , seorang wali dilarang menikahi seorang anak yatim yang ada dibawah pengampuannya hanya karena alasan kecantikan dan harta anak tersebut. Sebab dikhawatirkan para wali tersebut memperlakukan anak yatim yang ada di bawah pemeliharaannya secara tidak adil. Karenanya, lebih baik mereka menikahi wanita lain.[6]
Al-Zamakhsyari (w 538H) mengartikan al-Nisa ayat 3, sebagai kalau takut tidak bisa berbuat adil dalammemberikan hak-hak anak yatim, maka jauhilah menikahi mereka. Demikian juga kalau takut berbuat zina,maka nikahlah dengan wanita yang halal. Dengan kata lain, arti kata thaba dalam ayat ini diartikan dengan halal oleh Al-Zamakhsyari. Sebab, sudah merupakan tradisi orang Arab pra-islam menikahi wanita yatim yang ada di bawah pengampuannya. Sayangnya alasan menikahinya hanya karena kecantikan dan hartanya. Lebih dari  itu, orang Arab pra-Islam tidak memberikan mahar ketika menikahi anak yatim tersebut. Sementara menikahi anak yatim dengan tidak memberikan hak-haknya secara adil, termasuk mahar, sama dengan menikahi wanita dengan jalan haran. Keduanya merupakan perbuatan haram yang harus dijauhi. Maka untuk menjauhi kedua tindakan dosa ini disuruh untuk menukahi wanita diluar anak yatim yang halal.[7]
Ibn Qayyim ( w 751H), dalam membahas al-Nisa ayat 3 ini lebih menekankan pada kata dzalika adna anla ta’ulu. Dengan mengutip pendapat al-Kasau, Ibn Qayyim mengatakan bahwa poligami sampat empat dibolehkan dengan syarat bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya dan tidak berbuat aniaya (dzhalm0. Sebaliknya, kalau tidak mampu berbuat adil atau bahkan akan menimbilkan aniaya,maka hendaklah seorang menikahi satu wanita saja atau budak.maka bisa disebut bahwa arti dzalika adna anla ta’ulu  sama artinya dengan la tajuru atau la tamilu (tidak condong).[8]
Al-Syawkani (w. 1250H/ 1832M) menyebutkan , bahwa sebabturunnya ayat ini berhubungan dengan kebiasaan orang Arab pra-Islam, dimana para wali yang ingin menikahi anak yatim,tidak memberikan mahar yang jumlahnya sama dengan mahar yang diberikan kepada wanita lain. Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang sama antara wanita yang taim dan non yatim, Allah menyuruh untuk menikahi wanita yang non yatimsaja, maksimal empat wanita, dengan syarat bisa berbuat adil. Sedangkan kalay takut tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu saja.[9]
Al-Qasimi (w 1332W/ 1914H) menyatakan bahwa, untuk bisa menikahi lebih dari satu tergantung pada keluasan cara berpikir suami, kemampuan mengendalikan rumah tangga, dan kematangan dalam mengurusi segala hal dalam masyarakat (mu’amalah). Dia kemudian menekankan, bahwa hanya pria yang istimewa yang bisa melakukan hal-hal tersebut..[10]
Al-Maraghi menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut di surat al-Nisa ayat 3, merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakuakn  oleh orang-orang  yang benar-benar membutuhkan. Dia kemudian mencatataidah fiqhiyyah dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih. Pencatatan ini dimaksudkan, barangkali, untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk hati-hati dalam melakukan poligami.[11]
Alasan-alasan yang membolehkan berpoligami,menurut al-Maraghi, adalah:[12]
1.    Karena istri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan.
2.    Apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi, sementara istri tidak akan mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya.
3.    Kalau si suami mempunyai harta yang banyak untuk membiayai segala kepentinngan keluarga, mulai dari kepentingan isteri, smapai kepentingan anak-anak.
4.    Kalau jumlah wanita melebihi dari jumlah pria, yang bisa jadi dikarenakan terjadinya perang.
Sayyid Qutub (w 1966M), mengatakan bahwa poligami merupakansuatu perbuatan rukhsah. Karena merupakan rukhsah, maka bisa dilakukanhanya dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan bsa berbuat adil terhadap istri-istri. Keadilan yang dituntut di sini termasukdalam bidang nafkah, mu’amalah, pergaulan, serta pembagian malam. Sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil, maka diharuskan cukup satu saja. Sementara bagi yang bisa berbuat adil terhadap istrinya, boleh poligami dengan maksiamal hanya empat isteri.[13]

Berdasarkan dari beberapa pendapat para ulama mufassir, dapat diketahui bahwa surat al-Nisa ayat 3 menerangkan tentang kebolehan seorang muslim menikahi seorang wanita lebih dari satu dengan batasan sampai 4, namun dengan syarat bahwa ia harus mampu berlaku adil terhadap wanita-wanita yang dinikahinya, baik dari segi hak-hak maupun kewajiban setiap istri-istrinya. Selain itu, ayat ini juga merupakan sebuat dekonstruksi hukum baru dalam menyikapi tradisi hukum perkawinan Arab pra-Islam, yakni penghapusan deskriminasi terhadap antara anak yatim yang berada di bawah pengampuannya ataupun bukan. Karena tradisi mereka ketika menikahi anak yatim yang berada dibawah pengampuannya, mereka tidak memberikan mahar. Sehingga ayat ini menjadi sebuah perintah baru untuk berlaku adil kepada anak yatim yang berada dipengampuannnya.
B.  Pesan Utama
Berdasarkan  penafsiran  ulama diatas, maka dapat dipahami bahwa, surat an-Nisa ayat 3 memiliki beberapa pesan utama,yakni:
1.      Pesan Utama (dharuriyat),
Maqashid daruriyyat adalah tuuan hukumyang semestinya ada dalam menegakkan kemaslahatan dunia dan akhirat yang terdiri dari lima kebutuhan pokok (al-Kulliyah al-khams), yaitu: memeluhara agama, nyawa, akal, keturunan dan harta.[14]
Poligami merupakan syariat Islam yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup (hifdz al-Nafas), dan keturunan (hifdz al-nasl). Karena pada dasarnya sesuai dengan asbabun nuzul ayat ini adalah, banyaknya para mujahid yang wafat di medan perang menyebabkan banyaknya para isteri dan anak yatim yang terlantar, maka demi menjaga kehidupan, keturunan dan kehormatan para janda yang ditinggal mati oleh suaminya atau para anak yatim yang ditinggal mati oleh ayahnya, Islam memerintahkan kepada para laki-laki untuk menikahi mereka hingga batas maksimal empat orang. Karena dengan menikahi mereka, maka wanita-wanita tersebut akhirnya memiliki tempat berlindung baru dan ada pula yang menanggung kehidupan mereka yakni suami-suami yang menikahi mereka.
2.      pendukung (hajiyyat)
maqashid hajiyyat adalah tujuann hukum yang diperlukan untuk memperluas kesempatan, menghilangkan kesempitan dan kesusahan.[15]
pernikahan merupakan upaya untuk memperoleh keturunan,  namun apabila tujuan untuk memiliki anak tersebut tidak tercapai, maka para ulama yang menghukumi poligami sebagai sebuah rukhsah yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurut saja, maka poligami boleh dilakukan apabila isteri tidak mampu memperoleh keturunan (mandul), sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan.
3.      keharmonisan yang etis dan estetis (tahsiniyyat).
Maqashid tahsiniyat adalah tujuan yang berkenaan dengan tradisi yang baik dan kemuliaan akhlak dan segala hal yang dapat menghilangkan dan kesusahan.[16]
Poligami dari segi tahsiniyat adalah, sebagai upaya untuk memberikan kehidupan yang lebih layak bagi wanita-wanita yatim yang dinikahi, mereka dapat merasakan ketenangan dan kesenangan kembali setelah ditinggalkan oleh suaminya yang dulu, dan telah ada suami baru yang dapat bertanggungjawab  dalam hal biaya kehidupan wanita tersebut dan anaknya.
C.  Fenomena Poligami di Negara Islam Zaman Sekarang.
Berdasarkan  penafsiran para ulama mengenai surat an-Nisa ayat 3, dapat dipahami bahwa pandangan ulamatradisional membolehkan poligami dengan batasan maksimal 4 siteri.  Meskipun berbeda dalam  menggunakan dasar (dalil), mereka sepakat membolehkan poligami, dan tidak ada indikasi dariiulama tersebut menyebutkan bahwa poligami adalah asas perkawinan dalam Islam.
Pada abad modern seperti sekarang, kecendrungan poligami di dunia Islam pada umumnya sama yakni membolehkan poligami dengan beberapa pembatasan. Berikut beberapa penerapan hukum poligami dibeberapa negara Islam.
Menurut M.Atho Mudzhar, ppembatasn poligami bervasiasi bentuknya dari cara yang paling lunak sampai yang paling tegas. Di lebanon, berdasarkan hukum keluarga yang diberlakukan kerajaan Turki Usmani pada tahun 1917, poligami tidak dilarang tetapi diharapkan menerapkan prinsipkeadilan kepada para isteri. Di Maroko uga demikian halnya berdasarkan UU Status Pribadi Tahun 1958. Dalam undang-undang misalnya pada pasal 31 UU, poligami diberikan pembatasan melalui perjanjian.[17]
Dalam hukum keluarga Yordania No. 61 Tahun 1976 yang kemudian diubah dengan UU No. 25 Tahun 1977 menyebutkan pembatasanpoligami dengan perjanian dimana isteri diberi hak untuk meminta suami ketika melangsungkan perkawinan agar membuat perjanian bahwa jika ia ternyata nanti nikah lagi dengan wanita lain maka si isteri dapat langsung meminta cerai kepada pengadilan atau dengan sendirinya atuh talak satu apabila yang melanggar itu pihak isteri.[18]
Di Pakistanpoligamihanyaboleh dilakukansetelah medapat izin dari isteri pertama danDewan Hakim(arbitrase) yang dibentuk untuk menyelidiki hal itu.bagi pelanggarnya, atas pengaduan, dapat dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda 5000 rupis atau kedua-duanya.[19]
UU Turki melarang perkawinan lebih dari satu selama perkawinan pertama masih berlangsung. UU itu menyatakan bahwa seorang tidak menikah, jika dia membuktikanbahwa pernikahanyang pertama bubar karenakematian, perceraian atau pernyataan pembatal. Pernikahan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atas dasar bahwa orang tersebuttelah berumah tangga saat menikah.[20]
Di Tunisa, poligami sama sekali dilarang dan bilaman teradi maka perkawinan itu dinyatakan tidak sah berdasarkan UUSipil Tahun 1962. Bahkan di Tunis, larangan poligami itu lebih keras lagi.ketegasanperlarangan poligami tersebut tampak pada pasal 18 UU tahun 1956 ang menyatakan bahwa laki-laki yang melakukan poligami dihukum kurungan selama setahun dan denda sebesar 240.000 frank. Aturan ini didasarkan pada al-Qur’an dengan alasan untuk melindungi hak-hak wanita. Menurut John L Esposito, dasar pelarangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisa adalah: (1) bahwa poligami, seperti alnya dengan perbudakan merupakan  institusi yang selamanya tdak dapat diterima mayoritas umat manusia di manapun; (2) ideal al-Qur’an tentang perkawinan adalah monogami, pandangan ini dirujuk Pemerintah Tunisa dari pemikiran Muhammad Abduh tentang poligami.
Aturan poligami di Malaysia, terbagi pada 2 kelompok. Pertama, poligami tanpaizin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan. Kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari Pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.[21]
Di Al-Jazair, hukum keluarga mengenai poligami dibolehkan maksimal empat, dengan syarat: (1) ada dasar yang melarbelakanginya; (2) dapat memenuhi keadilan; (3) memberitahukann bahwa ia akanberpoligami, baik pada isteri maupun kepada bakal isteri.[22]
Poligami di Yaman Selatan diperbolehkan bukan disebabkan dandikaitkan dengan keadilandan kemampuannafkah sebagaimana yang ditetapkan daam fiqh klasik, tetapi semata-mata karena adanya halangan untuk melangsungkan perkawinan yang sehat. Pada pasal 1, sebagaimana yang dicatat Saptoni, poligami diperbolehkan setelah ada ijin tertulis dari pengadilan.pemberi izin ini diperoleh berdasarkan salah satu dari 2 alasan, yaitu: (1) isteri mandul yang dinyatakan oleh dokter dantidak dikethaui sebelumnya;atau (2) isteri menderita penyakit  kronis atau penyakit menular yang menurut medis tidak bisa disembuhkan,serta penyakit tersebut menghalangi kelangsungankehidupan rumah tangga.[23]
Hukum keluarga di Somalia menetapkan bahwa poligami hanya dapat dilakukan dengan izin pengadilan dengan beberapa alasan hukum, yaitu: (1) isterinya manduldengan bukti surat dari dokter; (2) isteri dipenjara lebih dua tahun; (3) isteri meninggalkan rumah tanpa izin lebih satu tahun: atau (4) ada kebutuhan sosial.[24]
Libya membolehkan poligami dengansyarat mendapat izin pengadilan, dengan pertimbangan: (1) kondisi sosial, (2) kemampuan ekonomi, dan(3) fisik laki-laki yang memohon.[25]
Berdasarkan penjelasan hukum poligami pada beberapa negara di duniaIslam,aspek pembaruan dapat dilihat pada upaya mempersulit bolehnya perkawinan poligami. Hanya saja cara yangdigunakan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Khoiruddin Nasution menilahbahwa pembaruan hukum tentang poligami sangat variatif hiingga dikelompokkan ke dalam 5 hal; (1)poligami dilarang secara mutlak;(2) dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan tentang poligami;(3) poligami harus ada izin dari pengadilan;(4) poligami dapat menjadi alasan cerai, dan (5) boleh poligami secara mutlak. Berbeda dengan Khoiruddin Nasution, Tahir Mahmood membedakan persoalan ini dan mengelompokkannya ke dalam 6 usaha, yaitu: (1) boleh poligami secaramutlak; (2) poligami dapat menjadialasan cerai; (3) poligami harus ada izin dari pengadilan; (4) pembatasan lewat kontrol sosial; (5) poligami dilarang secara mutlak; (6) dikenakan hukuman bagi yang melanggar aturan tentang poligami.[26]
Perbedaan aturan antara satu negara dengan negara lain selain disebabkan oleh faktor sosial dan tuntutan. Faktor-faktor pembedaantersebut dapat dilihat pada beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, Tunisa melarang poligami dengan alasan mustahil seorangsuami berlaku adil terhadap isteri-isterinya, padahal kriteria mampu berlaku adil ini menjadi syarat mutlak agar suami boleh berpologami. Konteks dari alasan ini, menurut Khoiruddin Nasution adalah karena negara ini berusaha menjelaskan kepada masyarakat bahwa pembaruan yang dilakukan di Tunisa sesuai dan sejaran dengan ajaran Islam, tidak seperti Turki yang mengadopsi sistem hukum Eropa (Swiss). Selain itu,haliniyangdapat disimpulkan dari UU Tunisa adalah bahwa dasar pertimbangan menyusun UU bukanhanya dasar konsep murni, tetapi sudah diapdukan dengan hasil pengamatan praktek poligami yang ada diTunisa bahwa pelaku poligami disana tidak dapat berlaku adil.[27]
Kedua, Syria, Irak dan Mesir membatasa praktek poligami berdasarkan pada kekhwatiran kemampuan ekonomi.konteksnya mungkin adalah fakta yangada di Mesir bahwa kebanyakananak terlantar diakibatkan oleh praktek poligami. Sebab orang yang melakukan poligami sebenarnya tidak mampu mencukup nafkah satu keluarga saja. karena itu, usaha untuk membatasi prakek poligamiadalah sebagai usaha menghindari kasus yang sama di masa yang akan datang.[28]
Ketiga, tampak bahwa konsep taklik talak sedemikian diperluas penerapannya dalam UU kontemporer untuk memabtasi praktek poligami yang tidak bertanggungjawab.[29]
Keempat, bahwa kemandulan isteri yang dapat menadi alasan poligami bukanhanya klaim seperti yang berlaku selama ini, tetapi harus dibuktikan dengan pemeriksaan dokter yang berwenang seperti ditetapkan UU Somalia. Selain itu, tuntutan sosial dapat menjadi alasan poligami,seperti tuntutan nas yang membolehkan poligami. Hanya saja untuk menentukan ada atau tidaknya tuntutan tersebut ditentutan oleh negara, bukan pribadi-pribadi.[30]


[1] Departemen Agama RI, hal 61
[2] Ali al-Shobuni, Shofwatu al-Tafasir, juz I, hal 237
[3] Ali bin Muhammad al-Jauzi, Zadu al-Misyar fi’ilmi al-tafsir, Juz I, hal 368
[4] Ibid.
[5] ibid
[6] Ibid, 86.
[7] Ibid.
[8] Ibid, 88
[9] Ibid.
[10] Ibid, 89
[11] Ibid, 90
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Asep Arifin, Ilmu Maqashid al-Syari’ah ilmu teleogia Hukum Islam, Terj, (Maktabah al-Ubaikah, Bandung, 2001), hal. 42
[15] ibid
[16] ibid
[17] Rahmawati, Dinamika PemikiranUlama dalam Ranah Pembaruan HukumKeluarga Islam di Indonesia:Analisis Fatwa MUI tentang Perkawinan Tahun 1975-2010, (Lembaga Ladang Kata, Yogyakarta, 2015), hal 50.
[18] Ibid, 53
[19] Ibid, 54
[20] ibid
[21] Ibid, 55
[22] Ibid,56
[23] ibid
[24] Ibid, 58
[25] Ibid
[26] Ibid,59
[27] Ibid
[28] Ibid, 57
[29] Ibid
[30] Ibid

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qoidah al-I'lal

KAIDAH AL-UMUR BI MAQOSHIDIHA

Nadzom Fiqh Sunda karya Kyai Juwaini Ibn Abdurrohman