KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM
KARAKTERISTIK HUKUM
ISLAM
Wildan Maolana
(NIM.
2170050026)
Mata Kuliah Sejarah
Hukum dan Perkembangan
Prodi Hukum Keluarga
Pasca UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen Pengampu: Dr. H.
Nurrohman. MA
Pendahuluan
Syariat adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan
oleh Rasulullah tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah swt dan
sabda Rasulullah. Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syariat
tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala
ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat tersebut.[1]
Pengertian dari syariat sendiri terkadang sering diartikan secara sempit
sebagai hukum Islam (Islamic Yurisprudence), sebab makna yang terkandung dalam
syariat (secara halus) tidak hanya aspek hukum saja, tetapi ada aspek lain,
yaitu aspek i’tiqodiyah dan aspek khuluqiyah.
Dalam memahami hukum Islam tentu diperlukan
pemahaman terhadap prinsip-prinsipnya pula. Di samping itu juga hukum Islam
memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan hukum-hukum lain.
Selanjutnya pembahasan ini akan dibahas dalam makalah ini.
Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang
membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri
dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju
ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat
sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis, berangsur-angsur dan
bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
1. Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi
manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini
didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis
besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun
zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al
Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk
melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[2]
2. Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai
dengan tuntutan waktu dan tempat.[3] Hukum
Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia.
Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan
patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang
proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis
dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi.[4]
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara
faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis
(harakah), yakni :
a. Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum
(mukallaf).
b. Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu memperhitungkan
kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum mereka. Setiap
diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum) diberlakukan pula
hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan rukhshah). Perhitungan
terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3 kategori yaitu :
c. Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah
shalat tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau
ta’khir), dan lain sebagainya.
d. Disebabkan oleh orang lain seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh
dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan pidana
tesrebut.
e. Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan
membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui batas
dan aniaya.
f. Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan
sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam
dalam kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :
1) Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi
menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.
2) Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespons perkembangan zaman dan
perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk
memperbaiki hukum perceraian pada masa itu.
3. Ijmali (Universalitas)
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan
kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga
bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).[5] Misalnya
pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum
Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada abad
20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya
kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan
mengambil persamaan illatnya.
Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman.
Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam
Al-Qur’an dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita
untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.Hukum Islam
meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa.
Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku
pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya). Tetapi untuk semua zaman hukum Islam
menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan
akan selalu cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern,
seperti halnya hukum Islam dapat melayani para ahl ‘aql, ahl
naql dan ahl ro’yi atau ahl hadits.[6]
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik
tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan
dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.[7] Firman Allah SWT ;
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad)
melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan
berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba:
28).
Konstitusi Negara Muslim pertama, Madinah, menyetujui dan melindungi
kepercayaan non Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini
merupakan kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi, serta orang-orang Arab yang
bergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara
dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin.
Istilah zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah dan Rasul, kepada
orang-orang non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial tertentu. Warga
negara dan ahli kitab dipersilahkan menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa
yang Allah wahyukan. Rasulullah SAW sendiri bersabda : “Aku sendiri yang akan
menyanya, pada hari kiamat, orang yang menyakiti orang zimmi atau memebrinya
tanggung jawab yang melebihi kemampuannya atau merampok yang menjadi haknya.”[8]
Untuk memperlihatkan keuniversalan hukum Islam minimal dari 3 segi:
1) Menyangkut pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan
pada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara manusia
biasa bahkan terhadap seorang Nabi.
2) Kemanusiaan yang universal
3) Efektifitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang
ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.[9]
4. Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain saling bertautan,
bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat
dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan antara satu institusi
dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam mendorong umatnya untuk
beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi
kehidupan duniawi.[10]
5. Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al
Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan
jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu
mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman
keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai
bidang.
6. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat
dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk
mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala
konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya
makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru
ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini
hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepada Nya dan
mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli
ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na)
atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan
pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli
dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau madlarat yang terkandung
di dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada madlaratnya dan diperintahkan
karena ada maslahat di dalamnya.[11]
Kemudian terdapat ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain adalah
:[12]
a. Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah swt, yang terdapat dalam al Quran dan
dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
b. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan
akhlak (moral).
c. Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan
seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
d. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
e. Hukum Islam mengarah pada jama’iyah (kebersamaan) yang seimbang antara
kepentingan individu dan masyarakat.
f. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan
waktu dan tempat.
g. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan
di akhirat.
7. Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin
yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan
yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan
perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu,
tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Dari ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak
mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan
mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika
mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum
Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum
Islam. Bila pada keuniversalan hukum Islam berlaku 3 segi, maka dalam
karakteristik ini juga berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :
a.
Bila ditinjau
menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa dibedakan status
seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter unversalitas
hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan hukum yang
khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum,
seorang pezina siapapun ia dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi
hukum. Namun, pelaku zina yang telah kawin
sanksi hukumnya adalah rajam sedangkan yang belum pernah kawin, maka
sanksi hukumnya adalah didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang
bagi para budak yang melakukan zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka.
Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap
orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus
dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.
b.
Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan
perhatian manusia sepanjang sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang
disebut dengan kemanusiaan yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum
kemanusiaan partikular. Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan
islam, berlakunya hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum
khamar dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang
partikular karena tidak lazim dalam norma hukum yang berkembang dalam sejarah
peradaban hukum manusia. Oleh karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan
yang partikular.
c.
Bila ditinjau dari
berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk setiap manusia
yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum lainnya tidak lagi
melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap manusia yang
telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum perkawinan Islam,
maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi isteri terhadap suami,
ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang yang telah tunduk
menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya secara atau
berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak berdasarkan hukum Islam tidak
berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam hukum Islam. Dalam
kasus seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena hanya menunjuk pada
manusia tertentu saja.[13]
8.
Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum
Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :
a. Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang
dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.
b. Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni
pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir
hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau
dengan makhluk lain (lingkungannya).
Lebih jauh lagi, bentuk karakter akhlak pada
hukum Islam dapat disarikan dalam beberapa ilustrasi sebagai berikut :
a. Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan
hukum-hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik
dan diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b. Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum
larangan zina.
c. Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan
hukum berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan
pandangan.
d. Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e. Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan
riba atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok,
penipuan ataupun penggelapan.
f. Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan
dan kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan
pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk
pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g. Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga
diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara dengan
jihad bila dieprlukan.
h. Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn
sanksi-sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.
i. Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum
menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat
yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap binantang
tertentu.
j. Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka
diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan
mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik
dikonsumsi.[14]
9. Tahsini
(Estetik)
Pengertian yang lazim untuk estetik adalah
keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan
didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam
pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat
atau puncak moral.
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya
karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum
wajib ibadah seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan
tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek
hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam
macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik
banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut
berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak
lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.[15]
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai karakteristik hukum Islam itu antara lain :
1. Sempurna berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi
dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok.
Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan
hanya garis besar permasalahannya saja.
2. Ijmali (Universalitas) dan dinamis, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal
batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan
kulit hitam. Pemahaman keuniversalan hukum Islam juga terletak pada segi
efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa kewajiban moral hukum yang
dicanangkan adalah untuk segenap manusia.
3. Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
4. Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai
dengan tuntutan waktu dan tempat.
5. Ijmali (Universalitas) yakni ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas.
Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit
hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat
dinamis (cocok untuk setiap zaman).
6. Menegakkan Maslahat atau al shulh
atau al islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik
sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan
maslahat secara terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam
hukum Islam
7. Berangsur-angsur (tadrij) maknanya hukum Islam dibentuk secara tadrij dan
didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran
ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup
manusia selalu mengalami perubahan.
8. Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli, hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang
fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman
kepadaNya. Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli.
Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula
al ma’na) atau rasional.
9. Tafshili (Partikularitas), yakni hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin
yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan
yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan
perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu,
tetapi jangan berlebih-lebihan.”
10. Akhlak (Etistik), akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada prinsip
bahwa hukum yang dating dari Allah adalah tentang aturan moral bagi sekalian
manusia.
11. Tahsini (Estetik) yakni keindahan. Pesan
dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada
kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah
adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, 2001, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Anwar Harjono, tt, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, Jakarta: Bulan Bintang.
Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Hasbi Ash Shidieqy, 1975, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang),
Ismail Muhammad Syah, 1992, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, Jakarta :Bumi Aksara.
Joseph Schacht, 2003, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, Jogjakarta : Islamika.
Sarmadi, A. Sukris, MHi, 2007, Membangun
Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, Yogyakarta : Pustaka Prima.
Suparman Usman, 2002, Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, cet. 2.
[4]. Abdul Wahab Khallaf, Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada), 2001, hal. 3.
[8]. Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law and
The Orientalis, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II, hal. 277 – 278
[9]. A. Sukris Sarmadi, 2007, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum
Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima,), hal. 108 – 109.
[10]. Joseph Schacht, 2003, Pengantar
Hukum Islam,
pen. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), , hal. 300.
[11]. Abdul Wahab Khallaf, 2001,Sejarah
Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada), , hal. 4.
Komentar
Posting Komentar