KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM



KARAKTERISTIK HUKUM ISLAM
Wildan Maolana
(NIM. 2170050026)
Mata Kuliah Sejarah Hukum dan Perkembangan
Prodi Hukum Keluarga Pasca UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Dosen Pengampu: Dr. H. Nurrohman. MA

Pendahuluan
Syariat adalah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah swt yang dijelaskan oleh Rasulullah tentang pengaturan semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat kelak. Ketentuan syariat terbatas dalam firman Allah swt dan sabda Rasulullah. Agar segala ketentuan (hukum) yang terkandung dalam syariat tersebut bisa diamalkan oleh manusia, maka manusia harus bisa memahami segala ketentuan yang dikehendaki oleh Allah swt yang terdapat dalam syariat tersebut.[1]
Pengertian dari syariat sendiri terkadang sering diartikan secara sempit sebagai hukum Islam (Islamic Yurisprudence), sebab makna yang terkandung dalam syariat (secara halus) tidak hanya aspek hukum saja, tetapi ada aspek lain, yaitu aspek i’tiqodiyah dan aspek khuluqiyah.
Dalam memahami hukum Islam tentu diperlukan pemahaman terhadap prinsip-prinsipnya pula. Di samping itu juga hukum Islam memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan hukum-hukum lain. Selanjutnya pembahasan ini akan dibahas dalam makalah ini.
Karakteristik Hukum Islam
Hukum Islam memiliki watak tertentu dan beberapa karakteristik yang membedakannya dengan berbagai macam hukum yang lain. Karakteristik tersebut ada yang memang berasal dari watak hukum itu sendiri dan ada pula yang berasal dari proses penerapan dalam lintas sejarah menuju ridha Allah swt. Dalam hal ini beberapa karakteristik hukum Islam bersifat sempurna, elastis dan dinamis, universal, sistematis, berangsur-angsur dan bersifat ta’abuddi serta ta’aquli.
1.    Sempurna
Berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja. Sehingga hukum-hukumnya bersifat tetap meskipun zaman dan tempat selalu berubah. Penetapan hukum yang bersifat global oleh al Quran tersebut dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada umat manusia untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi ruang dan waktu.[2]
2.      Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.[3] Hukum Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Hukum Islam tidak kaku dan tidak memaksa melainkan hanya memberikan kaidah dan patokan dasar secara umum dan global. Sehingga diharapkan tumbuh dan berkembang proses ijtihad yang mengindikasikan bahwa hukum Islam memang bersifat elastis dan dinamis, dapat diterima di segala situasi dan kondisi.[4]
Ada 2 segi yang dapat dibentangkan secara faktual menyangkut argumentasi mengapa hukum Islam memiliki karakter elastis (harakah), yakni :
a.    Menyangkut masalah hukum dalam memberi beban taklif kepada subjek hukum (mukallaf).
b.    Penetapan-penetapan hukum bagi para subjek hukum selalu memperhitungkan kondisi-kondisi khusus subjek hukum dalam menjalankan hukum mereka. Setiap diberlakukannya suatu hukum bagi mukallaf (subjek hukum) diberlakukan pula hukum-hukum pengecualian atau keringanan (azimah dan rukhshah). Perhitungan terhadap kondisi-kondisi seperti itu mencakup 3 kategori yaitu :
c.    Kondisi dari subjek hukum sendiri berupa kondisi uzur, seperti perintah shalat tepat waktu (muassa) dapat dikerjakan secara gabungan (jamak takdim atau ta’khir), dan lain sebagainya.
d.   Disebabkan oleh orang lain seperti berlakunya hukum qishas bagi pembunuh dapat diganti dengan hukum diyat bila keluarga korban memaafkan tindakan pidana tesrebut.
e.    Kondisi situasional dimana keadaan sangat luar biasa seperti kelaparan membolehkan ia memakan binatang yang diharamkan selama tidak melampaui batas dan aniaya.
f.     Segi hukum dalam merespons atau menyikapi perkembangan zaman dan perubahan sosial. Ada 2 argumentasi yang dapat dikategorikan keelastisan hukum Islam dalam kondisi yang dimaksud seperti ini, yakni :
1)   Berdiri tegaknya hukum Islam melewati hasil-hasil produk ijtihadiyah demi menanggapi perkembangan zaman dan perubahan sosial.
2)   Kondisi hukum Islam sendiri pada umumnya merespons perkembangan zaman dan perubahan sosial pada masa turunnya Al-Qur’an. Berlakunya hukum talak untuk memperbaiki hukum perceraian pada masa itu.
3.    Ijmali (Universalitas)
Ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).[5] Misalnya pada zaman modern ini kita tidak menemukan secara tersurat dalam sumber hukum Islam (Al-Qur’an dan Hadits) mengenai masalah yang sedang berkembang pada abad 20 ini, tetapi dengan menggunakan metode ijtihad, baik itu qiyas dan sebagainya kita bisa mengleuarkan istinbath hukum dari hukum yang telah ada dengan mengambil persamaan illatnya.
Ini berarti hukum Islam itu dapat menjawab segala tantangan zaman. Sebenarnya hukum pada setiap perkembangan zaman itu sudah tersirat dalam Al-Qur’an dan hanya kita sebagai manusia apakah bisa menggunakan akal kita untuk berijtihad dalam mengambul suatu putusan hukum tersebut.Hukum Islam meliputi seluruh alam tanpa ada batas wilayah, suku, ras, bangsa dan bahasa. Keuniversalan ini tergambar dari sifat hukum Islam yang tidak hanya terpaku pada satu masa saja (abad ke-7, misalnya). Tetapi untuk semua zaman hukum Islam menghimpun segala sudut dari segi yang berbeda-beda di dalam satu kesatuan dan akan selalu cocok dengan masyarakat yang menghendaki tradisi ataupun modern, seperti halnya hukum Islam dapat melayani para ahl ‘aqlahl naql dan ahl ro’yi atau ahl hadits.[6]
Bukti yang menunjukkan bahwa hukum Islam memenuhi sifat dan karaktersitik tersebut terdapat dalam Al-Qur’an yang merupakan garis kebijaksanaan Tuhan dalam mengatur alam semesta termasuk manusia.[7] Firman Allah SWT ;
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya :
Dan Kami (Allah) tidak mengutsu kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Saba: 28).
Konstitusi Negara Muslim pertama, Madinah, menyetujui dan melindungi kepercayaan non Muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan kesepakatn antara Muslim dengan Yahudi, serta orang-orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar jizyah, yang berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah zimmi berarti orang non Muslim dilindungi Allah dan Rasul, kepada orang-orang non Muslim itu diberikan hak otonomi yudisial tertentu. Warga negara dan ahli kitab dipersilahkan menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa yang Allah wahyukan. Rasulullah SAW sendiri bersabda : “Aku sendiri yang akan menyanya, pada hari kiamat, orang yang menyakiti orang zimmi atau memebrinya tanggung jawab yang melebihi kemampuannya atau merampok yang menjadi haknya.”[8]
Untuk memperlihatkan keuniversalan hukum Islam minimal dari 3 segi:
1)      Menyangkut pemberlakuan hukum Islam bagi para subjek hukum yang berkesan pada keadilan universalnya tanpa dibedakan kaya ataupun miskin antara manusia biasa bahkan terhadap seorang Nabi.
2)      Kemanusiaan yang universal
3)      Efektifitas hukum bagi seluruh manusia dengan segala dampak yang ditimbulkannya adalah untuk seluruh manusia pula.[9]
4.    Sistematis
Berarti antara satu ajaran dengan ajaran yang lain saling bertautan, bertalian dan berhubungan satu sama lain secara logis. Kelogisan ini terlihat dari beberapa ayat al Quran yang selalu menghubungkan antara satu institusi dengan institusi yang lain. Selain itu hukum Islam mendorong umatnya untuk beribadah di satu sisi tetapi juga tidak melarang umatnya untuk mengurusi kehidupan duniawi.[10]
5.    Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan. Pembaruan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai dengan perkembangan manusia dalam berbagai bidang.
6.    Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli
Hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Dan segala konsekuensi berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abuddi murni yang artinya makna (ide dan konsep) yang terkandung di dalamnya tidak dapat dinalar (ghoiru ma’qula al ma’na) atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah swt, merendahkan diri kepada Nya dan mengagungkanNya.
Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional. Maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari muamalah yang bersifat ta’aquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau madlarat yang terkandung di dalamnya. Sesuatu yang dilarang karena ada madlaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat di dalamnya.[11]
Kemudian terdapat ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lain adalah :[12]
a.    Hukum Islam berdasar atas wahyu Allah swt, yang terdapat dalam al Quran dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
b.    Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
c.    Hukum Islam bersifat universal (alami), dan diciptakan untuk kepentingan seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamin).
d.   Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan sanksi di akhirat (kelak).
e.    Hukum Islam mengarah pada jama’iyah (kebersamaan) yang seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat.
f.     Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
g.    Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
7.    Tafshili (Partikularitas)
Hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
Dari ayat diatas dipahami bahwa Islam tidak mengajarkan spiritual yang mandul. Dalam hukum Islam manusia dieprintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.
Memahami realitas karakter partikularistik hukum Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan pada pemahaman universal pada hukum Islam. Bila pada keuniversalan hukum Islam berlaku 3 segi, maka dalam karakteristik ini juga berlaku 3 segi pemahaman, yaitu :
a.    Bila ditinjau menyangkut pemberlakuan hukum terhadap para subjek hukum tanpa dibedakan status seseorang, kaya atau miskin dan seterusnya untuk suatu karakter unversalitas hukum, maka atas dasar keadilan pula hukum Islam memberlakukan hukum yang khusus demi kesebandingan penjeratan sanksi hukum atas subjek hukum. Berdasarkan keuniversalan pemberlakuan hukum, seorang pezina siapapun ia dan status bagaimanapun tetap mendapatkan sanksi hukum. Namun, pelaku zina yang telah kawin  sanksi hukumnya adalah rajam sedangkan yang belum pernah kawin, maka sanksi hukumnya adalah didera 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Sedang bagi para budak yang melakukan zina, maka sanksinya ½ dari orang yang merdeka. Dengan demikian, hukum Islam memberlakukan secara universal kepada setiap orang, namun dalam pemberlakuannya terjadi penjeratan hukum secara khusus dengan pemberlakuan partikularistik bagi pelaku hukum.
b.    Bila hukum Islam memiliki karakter sesuai dengan perhatian manusia sepanjang sejarah manusia dalam mencipatakan hukum atau yang disebut dengan kemanusiaan yang universal, maka hukum Islam juga memiliki hukum kemanusiaan partikular. Misalnya larangan orang Islam kawin dengan orang bukan islam, berlakunya hukum-hukum ibadah secara rinci, larangan judi dan minum khamar dan lain sebagainya. Hukum-hukum ini memiliki karakteristik yang partikular karena tidak lazim dalam norma hukum yang berkembang dalam sejarah peradaban hukum manusia. Oleh karenanya ia disebut dengan hukum kemanusiaan yang partikular.
c.    Bila ditinjau dari berlakunya efektivitas hukum secara umum adalah berlaku untuk setiap manusia yang daripadanya terlihat keuniversalannya maka hukum-hukum lainnya tidak lagi melihat subjek hukum sebagai manusia umumnya, tetapi terhadap manusia yang telah dianggap patuh menjalankan hukum Islam. Misalnya hukum perkawinan Islam, maka daripadanya berlaku hukum talak 3 kali, khulu’ bagi isteri terhadap suami, ila’, li’an, zihar, dan lain-lain diberlakukan bagi orang yang telah tunduk menjalankan hukum Islam dimulai sejak akad perkawinannya secara atau berdasarkan hukum Islam. Jadi orang yang status perkawinannya tidak berdasarkan hukum Islam tidak berlaku pula hukum-hukum yang menyangkut perkawinan dalam hukum Islam. Dalam kasus seperti demikian, hukum berkarakter partikular karena hanya menunjuk pada manusia tertentu saja.[13]
8.    Akhlak (Etistik)
Dimensi akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut :
a.    Hukum Islam dibangun berdasarkan petunjuk wahyu (Ql-Qur’an) yang dikembangkan melalui kehidupan Nabi SAW (AS Sunnah) dan ijtihadiyah.
b.    Segala peraturan hukum Islam memproyeksikan pada 2 bagian peraturan yakni pengaturan tentang tindakan hubungan dengan Allah yang daripadanya lahir hukum-hukum ibadah dan pengaturan menyangkut tindakan antar sesama manusia atau dengan makhluk lain (lingkungannya).
Lebih jauh lagi, bentuk karakter akhlak pada hukum Islam dapat disarikan dalam beberapa ilustrasi sebagai berikut :
a.    Hukum dalam pembinaan mental spiritual manusia maka diberlakukan hukum-hukum ibadah agar hubungan manusia dengan Tuhannya terbina dengan baik dan diharapkan memiliki efek sosial yang baik bagi lingkungannya.
b.    Pembinaan akhlak untuk memelihara keturunan maka diberlakukan hukum larangan zina.
c.    Pembinaan pada etika pergaulan antara lelaki dan perempuan diberlakukan hukum berpenampilan (tabarruj) antar mereka agar masing-masing mereka menundukkan pandangan.
d.   Pendidikan akhlak agar memelihara harta maka diberlakukan larangan judi.
e.    Pendidikan moral etika ekonomi maka diberlakukan hukum larangan melakukan riba atau perbuatan mengambil harta dengan jalan batils eperti merampok, penipuan ataupun penggelapan.
f.     Pembinaan keluarga harmonis agar mereka tidak ditinggalkan dalam keadaan dan kehidupan yang lemah diberlakukan hukum hadhanah dan larangan mengabaikan pendidikannya sehingga ditetapkan hukum perwalian maupun larangan segala bentuk pengabaian kehidupannya sehingga menelantarkannya.
g.    Pembinaan etika – moral kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga diberlakukan hukum kewajiban untuk taat kepada pemimpin, membela negara dengan jihad bila dieprlukan.
h.    Pembinaan etika agar masyarakat takut melanggar hukum diberlakuakn sanksi-sanksi hukum pidana berupa hukum hudud dan ta’zir.
i.      Pembinaan etika untuk tidak menyakiti makhluk lain maka diberlakukan hukum menyangkut adab penyembelihan terhadap binatangs eperti keharusan dengan alat yang tajam ketika menyembelihnya ataupun larangan pembunuhan terhadap binantang tertentu.
j.      Pembinaan etika dalam memelihara apa yang dikonsumsi tubuh manusia maka diberlakukan hukum kewajiban untuk memakan barang yang halal dan tayyibah dan mengharamkan yang buruk sehingga dirincikan binatang yang tidak baik dikonsumsi.[14]
9.  Tahsini (Estetik)
Pengertian yang lazim untuk estetik adalah keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
Dalam hukum-hukum ibadah juga nampak berlakunya karakter etestik hukum Islam. Secara umum para subjek diberlakukan hukum-hukum wajib ibadah seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, zakat dan naik haji, akan tetapi hukum memberikan pula pilihan-pilihan yang lebih baik agar para subjek hukum melaksanakan ibadah-ibadah anjuran seperti shalat sunnat yang beragam macam, I’tikaf di mesjid, puasa sunnat dan sadaqah.
Karakter hukum Islam yang bersifat estetik banyak ditemukan dalam berbagai lapangan hukum Islam. Minimal menyangkut berlakunya hukum sunnat di antara panca ajaran hukum (Ahkamu al Khamsah) tidak lain merupakan tahsiniyah (estetik) maslahat hukum.[15]
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai karakteristik hukum Islam itu antara lain :
1.    Sempurna berarti hukum itu akan selalu sesuai dengan segala situasi dan kondisi manusia dimanapun dan kapanpun, baik sendiri maupun berkelompok. Hal ini didasari bahwa syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan hanya garis besar permasalahannya saja.
2.    Ijmali (Universalitas) dan dinamis, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Pemahaman keuniversalan hukum Islam juga terletak pada segi efektifitasnya hukum yang diberlakukan, bahwa kewajiban moral hukum yang dicanangkan adalah untuk segenap manusia.
3.    Harakah (Elastis, dinamis, fleksibel dan tidak kaku)
4.    Hukum Islam bersifat dinamis berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
5.    Ijmali (Universalitas) yakni ajaran Islam bersifat universal, ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas. Ia berlaku bagi orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), kulit putih dan kulit hitam. Di samping bersifat universal atau menyeluruh, hukum Islam juga bersifat dinamis (cocok untuk setiap zaman).
6.    Menegakkan Maslahat atau  al shulh atau al islah yang berarti damai dan tentram. Damai berorientasi pada fisik sedangkan tentram berorientasi pada psikis. Adapun yang dimaksud dengan maslahat secara terminologi adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam
7.    Berangsur-angsur (tadrij) maknanya hukum Islam dibentuk secara tadrij dan didasarkan pada al Quran yang diturunkan secara berangsur-angsur. Keberangsuran ini memberikan jalan kepada manusia untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia selalu mengalami perubahan.
8.    Bersifat ta’abuddi dan ta’aquli, hukum Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah swt, yakni beriman kepadaNya. Yang kedua berbentuk muamalah yang di dalamnya bersifat ta’aquli. Ta’aquli ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar (ma’qula al ma’na) atau rasional.
9.    Tafshili (Partikularitas), yakni hukum Islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Perintah shalat dalam Al-Qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Berulang-ulang Allah SWT berfirman: “makan dan minumlah kamu, tetapi jangan berlebih-lebihan.”
10.  Akhlak (Etistik), akhlak dimasukkan sebagai karakter hukum Islam didasarkan pada prinsip bahwa hukum yang dating dari Allah adalah tentang aturan moral bagi sekalian manusia.
11.  Tahsini (Estetik) yakni keindahan. Pesan dasar yang bisa ditangkap dari makna khusus bahwa keindahan didudukkan pada kualitas kebaikan (maslahat) yang tertinggi. Paling tidak dalam pengertian literal tahsiniyah adalh puncak kebaikan yang dituju pada maslahat atau puncak moral.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf, 2001, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Anwar Harjono, tt, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, Jakarta: Bulan Bintang.
Fathurrahman Djamil, 1997, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Hasbi Ash Shidieqy, 1975, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang),
Ismail Muhammad Syah, 1992, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, Jakarta :Bumi Aksara.
Joseph Schacht, 2003, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, Jogjakarta : Islamika.
Sarmadi, A. Sukris, MHi, 2007, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, Yogyakarta : Pustaka Prima.
Suparman Usman, 2002, Hukum Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, cet. 2.










[1]. Hasbi Ash Shidieqy, 1975, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), hal. 98.
[2].  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu), 1997, hal. 46.
[3].  Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), 2002, cet. 2, hal. 64.
[4].  Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), 2001, hal. 3.
[5]. Fathurrahman Djamil, 1999, Filsafat Hukum Islam, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu,), hal. 49.
[6].  Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1975, hal. 105.
[7].  Anwar Harjono, Hukum Islam Kekuasaan dan Keagungannya, (Jakarta: Bulan Bintang, tt), hal. 113
[8]. Muhammad Muslehuddin, Philoshopy of Islamic Law and The Orientalis, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), cet. II, hal. 277 – 278
[9]. A. Sukris Sarmadi, 2007, Membangun Refleksi Nalar Filsafat Hukum Islam Paradigmatik, (Yogyakarta : Pustaka Prima,), hal. 108 – 109.
[10]. Joseph Schacht, 2003, Pengantar Hukum Islam, pen. Joko Supomo, (Jogjakarta : Islamika), , hal. 300.
[11].  Abdul Wahab Khallaf, 2001,Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), , hal. 4.
[12]. Ismail Muhammad Syah, 1992, Tujuan dan Ciri Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara), , hal. 113.
[13]. Ibid, hal. 109 – 111
[14]. Ibid, hal. 114 – 115
[15]. Ibid, hal. 117 – 118

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Qoidah al-I'lal

KAIDAH AL-UMUR BI MAQOSHIDIHA

Nadzom Fiqh Sunda karya Kyai Juwaini Ibn Abdurrohman