FENOMENA ANAK TERLANTAR DAN ALTERNATIF PENANGGULANNYA DI KOTA BANDUNG
FENOMENA
ANAK TERLANTAR DAN ALTERNATIF PENANGGULANNYA DI KOTA BANDUNG
Wildan Maolana,
Program Hukum Keluarga, Pasca UIN Bandung
Kata Kunci;
Fenomena, Anak
Terlantar, Penanggulangan
Abstrak
Anak terlantar
di Kota Bandung mencapai 8.678 orang yang terbagi kedalam enam kategori. Faktor
yang menyebabkan mereka ditelantarkam adalah faktor keluarga, pendidikan,
sosial, politik, ekonomi, kelahiran diluar nikah, adanya pengaruh dari teman
untuk turun ke jalan, adanya dorongan untuk uang jajan dan biaya sekolah, dan
paksaan orang tua agar mereka turun kejalan untuk membantu kehidupan keluarga
mereka, dan juga pernikahan yang tidak dicatat menyebabkan administrasi
kenegaraan mereka terlantarkan. Sedangkan upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi anak terlantar oleh pemerintah kota Bandung adalah didirikannya
Program Kesehatan Bakti Pekerja Sosial Anak (PKSA), dan memberikan donasi
kepada beberapa keluarga miskin di kota Bandung.
A.
PENDAHULUAN
Anak
adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita
jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi Perseriakatan Bangsa-bangsa
tentang Hak-Hak Anak. Dari segi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah
masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil
dan kebebasan[1]
Anak
terlantar identik dengan kemiskinan sehingga bertambahnya populasi mereka dapat
menjadi indikator bertambahnya keluarga miskin. Kemiskinan memunculkan
gelandangan dan pengemis, mereka menjadikan tempat apapun sebagai arena hidup
termasuk pasar, kolong jembatan, trotoar ataupun ruang terbuka yang ada.
Penanganan anak, seperti anak terlantar sering dimanfaatkan oleh orang-orang
yang tidak bertanggungjawab. Ada yang memelihara untuk dijadikan sebagai
pengemis jalanan, ada yang memelihara untuk disodomi dan tragisnya ada yang
memutilasinya. Sementara anak terlantar juga berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara wajar, sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[2]
Negara
menjamin hak dan kewajiban warga negaranya, sesuai dengan UUD NRI 1945, yaitu
dalam Pasal 34 ayat (1), yang berbunyi, “fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara”. Dalam hal ini jelas, negara sebagai pengayom dan
pelindung serta harus bertanggung jawab langsung dalam penanganan dan pembinaan
terhadap anak-anak terlantar. Pasal ini pada dasarnya merupakan hak
konstitusional bagi seluruh warga miskin
dan anak-anak yang terlantar diseluruh bumi Indonesia sebagai subyek hak asasi
yang seharusnya di jamin pemenuhannnya oleh Negara.[3]
Kota
Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki fenomena anak terlantar
terbanyak di Jawa Barat, yakni 8.678 orang yang terbagi kedalam enam kategori,
berdasarkan hal tersebut, maka pada penulisan ini penulis akan membahas
mengenai: (1) fenomena Anak Terlantar di Kota Bandung, dan (2) upaya
penanggulangan anak Terlantar di Kota Bandung.
B.
PEMBAHASAN
Pengertian Anak
Terlantar
Anak terlantar sesungguhnya adalah anak-anak yang
masuk kategori anak rawan atau anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children
in need of special protection)[4]. Anak rawan sendriri pada dasarnya adalah
sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi,
kondisi, dan tekanan-tekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum
atau tidak terpenuhi hak-haknya, dan bahkan sering kali pula dilanggar
hak-haknya. Dilihat dari hak anak-anak ini, mereka mempunyai hak yang harus
dipenuhi oleh orang tuanya yaitu hak untuk memperoleh pendidikann yang layak,
pengembangan diri dan mental, menyatakan pendapat dan berpikir, memperoleh
kebutuhan jasmani dan rohani, memperoleh sarana bermain dan berekreasi serta
hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. Ketika hak-hak anak
tersebut tidak terpenuhi, tidak ada perhatian dari orang tuanya maka anak ini
dapat dikatakan sebagai anak terlantar. Seorang anak yang tidak mempunyai kedua
orang tua atau tidak ada pengampunya akan dikatakan anak terlantar, tetapi
seorang anak dapat juga dikatakan terlantar ketika hak-hak anak tersebut tidak
terpenuhi secara wajar atau keseluruhan.[5]
Ada beberapa sumber yang bisa memberikan kita
pemahaman mengenai definisi dari anak terlantar ini, yaitu diantaranya
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
Definisi anak
terlantar adalah anak yang berusia 5-18 tahun yang menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan maupun di
tempat-tempat umum.[6]
2. Kementerian Sosial RI
Anak terlantar
adalah anak yang berusia 6-18 tahun yang mengalami perlakuan salah dan
ditelantarkan karena sebab tertentu (karena beberapa kemungkinan: miskin/ tidak
mampu, salah seorang dari orang tuanya/wali pengampu sakit, salah seorang kedua
orang tua/wali pengampu atau mengasuh meninggal, keluarga tidak harmonis, tidak
ada pengampu atau pengasuh), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya
dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.[7]
3. Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Dinyatakan
bahwa anak terlantar adalah anak karena suatu sebab orangtuanya melalaikan
kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.
4. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Anak terlantar
adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fsik, mental,
spiritual, maupun sosial.
Karakteristik Anak Jalanan
Menurut data (Departemen Sosial, 2006:
23) ciri anak jalanan terbagi dalam dua kategori yaitu ciri fisik dan
psikis.Ciri fisik anak jalanan adalah anak jalanan yang mempunyai warna kulit
kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus dan berpakaian kotor. Sedangkan
ciri psikis adalah mereka mempunyai mobilitas yang tinggi terutama untuk
memenuhi kebutuhan pangan, masa bodoh, mempunyai rasa penuh curiga, sangat
sensitif, tidak berfikir panjang (berani menanggung resiko).
Masih menurut data Departemen Sosial,
bahwa seorang anak dikatakan anak jalanan bilamana mempunyai indikasi sebagai
berikut:
1. Usia
di bawah 18 tahun.
2. Orientasi
hubungan dengan keluarganya adalah hubungan yang sekedarnya, tidak ada
komunikasi yang rutin diantara mereka:
a.
Ada yang sama
sekali tidak berhubungan dengan keluarganya.
b.
Masih ada
hubungan sosial secara teratur minimal dalam arti bertemu sekali setiap hari.
c.
Masih ada kontak
dengan keluarganya, namun tidak teratur.
3. Orientasi
waktu.
Mereka tidak mempunyai orientasi mendatang.Orientasi
waktunya adalah masa kini. Dan waktu yang dihabiskan di jalanan lebih dari 4
jam setiap harinya.
4. Orientasi
tempat tinggal.
a.
Tinggal bersama
orang tuanya.
b.
Tinggal dengan
teman-teman sekelompoknya.
c.
Tidak mempunyai
tempat tinggal, tidur disembarang tempat.
5. Orientasi
tempat berkumpul mereka adalah tempat-tempat yang kumuh, kotor, banyak makanan
sisa, tempat berkumpulnya orang-orang, misalkan; pasar, terminal bus, stasiun
kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalan atau
jalan raya, di kendaraan umum (mengamen) dan tempat pembuangan sampah.
6. Orientasi
aktifitas pekerjaan.
Aktifitas yang mereka kerjakan adalah aktifitasnya
yang berorientasi pada kemudahan mendapatkan uang sekedarnya untuk menyambung
hidup, seperti; menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran/majalah,
mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut dan menjadi
penghubung penjual jasa.
7. Pendanaan
dalam aktifitasnya.
a.
Modal sendiri.
b.
Modal kelompok.
c.
Modal majikan.
d.
Stimulan/bantuan.
8. Permasalahan-permasalahan
yang dihadapi.
a.
Korban
eksploitasi sex.
b.
Dikejar-kejar
aparat.
c.
Terlibat
kriminal.
d.
Konflik dengan
kelompok lain atau teman dalam kelompok.
e.
Potensi
kecelakaan lalu lintas.
f.
Ditolak
masyarakat.
9. Kebutuhan-kebutuhan
anak jalanan.
a.
Haus kasih
sayang.
b.
Rasa aman.
c.
Kebutuhan sandang,
pangan (gizi), kesehatan.
d.
Kebutuhan
pendidikan.
e.
Bimbingan
keterampilan.
f.
Bantuan usaha.
g.
Harmonisasi
hubungan sosial dengan keluarga, orang tua dan masyarakat.
Sedangkan menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
yang dikutip dari (Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 2003: 35) bahwa
terdapat 3 (tiga) kategori dalam menilai seorang anak apakah anak jalanan atau
tidak, yaitu:
1. Anak-anak
jalanan yang betul-betul tinggal di jalanan, lepas sama sekali dari orang
tuanya. Mereka ini pada umumnya dianggap gelandangan.
2. Anak-anak
jalanan yang kadang-kadang saja kembali kepada orang tuanya. Anak jalanan
seperti ini umumnya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
3. Anak-anak
jalanan yang lain, yang tinggal jauh dari orang tuanya. Mereka ini kehilangan
kontak sama sekali dengan orang tuanya.
Disamping itu, Yayasan KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) juga memberikan
karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan diantaranya
adalah:
1. Kelihatan
kumuh atau kotor. Baik kotor tubuh maupun kotor pakaian
2. Memandang
orang lain, yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang.
3. Mandiri,
artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat
tidur dan makan.
4. Mimik
wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan
dari jalanan. Anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi dan
berbicara dengan siapa pun selama di jalanan.
5. Malas
untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu tidak
beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci
pakaian dan menyimpan pakaian.
Fenomena Anak
Terlantar di Kota Bandung
Entitas
anak merupakan bagian dari irisan masyarakat yang sangat rentan untuk menjadi
korban suatu tindak pidana kekerasan. Hal itu tentunya bisa disebabkan oleh
banyak faktor, antara lain karena berbabagai keterbatasan dan kelemahan yang
dimiliki oleh anak-anak. Misalnya persoalan fisik, pemikiran dan pengetahuan,
rendahnya posisi tawar dalam ruang interaksi sosial, keluarga yang tidak lagi
utuh, dan lemahnya ekonomi keluarga membuat anak-anak menjadi entitas yang
sangat mudah dan longgar menjadi bulan-bulanan dan korban tindak kriminal.
Karena itu, fenomena ekploitasi anak dapat terjadi dalam beerbagai lingkup dan
tatanan kehidupan, baik dalam tempat pekerjaan maupun dalam suasana pendidikan
dengan kedok kegiatan pembelajaran. Hal tersebut tentu dapat berdampak pada
perkeabangan fisik, mental dan psikologi anak-anak yang sejatinya diayomi dan
dipelihara dengan baik.
Kota
Bandung menjadi salah satu contoh wilayah dimana terjadinya fenomena anak
terlantar, dikutip dari Bisnis-jabar.com, Cimahi, 09/02/14, 15:22[8]
bahwa permasalahan anak terlantar di kota Bandung mencapai peringkat tertinggi
dari sekian kota di Jawa Barat, yakni 2.500 orang atau 44% permasalahan. Kabid
bantuan Perlindungan Sosial Dinsos Jabar Muhammad Nizar mengatakan bahwa di
Jawa Barat terdapat sekitar 10.000 anak jalanan yang tersebar di daerah kota
Bandung, Bogor, Cirebon dan Bekasi, dan 60% anak jalanan yang ada di kota
Bandung bukanlah warga asli Bandung, melainkan dari berbagai kota lainnya.
Dikutip
pula dari republika.co.id, 25/07/2014, 14:00[9].
Anak-anak penyandang masalah kesejahteraan sosial PMKS yang berkeliaran di
jalanan mencapai 8.678 anak, berdasarkan data terakhir Dinas Sosial Kota
Bandung 2012, junlah itu terbagi menjadi enam kategori, 345 dikatakan sebagai
balita terlantar, 5.848 anak terlantar dan 57 anak yang berhadapan dengan
hukum, 2.162 yang dikategorikan anak jalanan, 106 yang menyandang disabilitas,
serta 151 anak yang memerlukan perlindungan khusus. Sekretaris Dinas Sosial
Kota Bandng, Madi Mahendra menyatakan, ada anak terlantar dan anak yang
ditelantarkan, ia menyontohkan anak terlantar itu seperti ibu yang menolak
menyusui karna takut payudaranya rusak, penelantaran seperti ini bisa
dilaporkan, sedangkan anak yang ditelantarkan itu biasanya anak yang
betul-betul dibuang oleh orang tuanya.
Faktor Penyebab
Anak Terlantar
Fenomena
anak terlantar yang terjadi di Kota Bandung, tentu memiliki alasan tersendiri
yang membuat anak-anak itu ditelantarkan dan akhirnya memilih untuk hidup
dijalan, beberapa faktor yang menjadi penyebab anak terlantar, yaitu sebagai
berikut:[10]
1.
Faktor
keluarga, merupakan faktor yang paling penting dan sangat berperan dalam pola
dasar anak, karena kelalaian orang tua terhadap anak menjadikan anak merasa
ditelantarkan. Anak-anak sebetulnya hanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga
perlindungan orang tuanya untuk tumbuh berkembang secara wajar.
2.
Faktor
pendidikan, dalam hal kelangsungan pendidikan anak, misalnya karena kurangnya
kesadaran tentang pendidikan anak dilingkungan komunitas masyarakat miskin sering
terjadi kelangsungan pendidikan anak cenderung di telantarkan.
3.
Faktor
sosial, politik, ekonomi. Akibat krisis ekonomi yang semakin parah, pemerintah
mau tidak mau memang harus menyisihkan anggaran untuk membayar hutang dan
memperbaiki kinerja perekonomian jauh lebih banyak daripada anggaran yang
disediakan untuk fasilitas-fasilitas yang seharusnya diberikan kepada anak
tersebut terabaikan.
4.
Kelahiran
diluar nikah. Seorang anak yang kelahirannya tidak dikehendaki pada umumnya
sangat rawan untuk ditelantarkan dan bahkan diperlakukan salah oleh orang tua
maupun lingkungan masyarakatnya. Bahkan perilaku penelantaran anak bisa berupa
ketidak sanggupan orang tua untuk melahirkan dan memelihara anaknya secara
wajar.
Moch Gilang[11]
dalam penelitiannya di Kota Bandung yang meliputi Dago dan Simpang Pasteur,
menyatakan bahwa setidaknya ada 4 faktor yang mempengaruhi anak-anak itu
ditelantarkan sehingga harus turun ke jalan, yakni:
1.
Pengaruh
dari teman, Faktor ini sangat berpengaruh bagi seorang anak karena teman
sebayanya telah mempengaruhi seorang anak untuk ikut turun ke jalanan
2.
Ingin
mencari uang saku tambahan, karena ketidak mampuan orang tua untuk memberi uang
saku kepada anaknya, maka anak tersebut lebih baik mencari uang di jalan
daripada menjadi pengangguran.
3.
Ketidakmampuan
orang tua untuk menyekolahkan anak, karena ketidakmampuan orang tua untuk
menyekolahkan anaknya, oleh sebab itu anak tersebut lebih baik mencari uang di
jalan daripada menjadi pengangguran.
4.
Disuruh
orang tua, karena kemiskinan dari keluarga, oleh sebab itu orang tua menyuruh
anaknya untuk mencari uang dengan turun ke jalan, agar bisa membantu keuangan
keluarga.
Oyo
Sunaryo Muhlas[12]
menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan anak-anak rentan untuk menjadi
korban suatu tindak pidana kekerasan, misalnya persoalan fisik, pemikiran dan
pengetahuan, rendahnya posisi tawar dalam ruang interaksi sosial, keluarga yang
tidak lagi utuh, dan lemahnya ekonomi keluarga yang membuat anak-anak sangat
rentan dan sangat mudah menjadi bahan bulan-bulanan dan korban tindakan
kriminal.
Dikutip
dari detik.com[13],
menurut Sekretaris Kelompok Madiri (KPM) Dewi Sartika, Daus Sapu Jagat,
banyaknya anak-anak terlantar yang akhirnya turun di jalanan itu disebabkan
oleh maraknya perilaku seks bebas diantara kaum miskin kota seperti gelandangan
dan pengemis, hal ini mengakibatkan banyaknya bayi yang lahir tidak memiliki
kejelasan status hukum, yang akhirnya
mereka turun ke jalanan. Banyak gelandangan, pengemis dan pemulung kota Bandung
yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, mereka menempati sudut-sudut kota
seperti alun-alun, jembatan penyebrangan, atau stasiun, dan melakukan free sex
di tempat mereka biasa berkumpul, bahkan masih menurut Daus, ada ibu-ibu
gelandangangan pengemis yang setiap tahun melahirkan, dan menyuruh anaknya
untuk turun ke jalanan.
Alternatif
Penanggulangan Anak Terlantar
1.
Upaya Regulasi Hukum tentang Anak Terlantar
Fenomena
anak terlantar tidak hanya menjadi keprihatinan bangsa Indonesia saja,
melainkan telah menjadi keprihatinan dunia hingga PBB. Pasal 3 ayat (2)
Konvensi Hak anak ditegaskan bahwa “negara peserta menjamin perlindungan anak
dan memberikan kepedulian pada anak dalam wilayah yuridiksinya. Negara
mengambil peran untuk memungkinkan orang tua bertanggungjawab terhadap anaknya,
demikian pula lembaga-lembaga hukum lainnya”. Ketentuan suatu negara untuk
menjamin hak anak dipertegas juga pada pasal 3 ayat (3) bahwa, “negara mesti
menjamin institusi-institusi, pelayanan, dan fasilitas yang diberikan
tanggungjawab untuk kepedulian pada anak atau perlindungan anak yang sesuai
dengan standar yang dibangun oleh lembaga yang berkompeten. Negara mesti
membuat standar pelayanan sosial anak, dan memastikan semua institusi yang
bertanggungjawab mematuhi standar dimaksud dengan mengadakan monitoring atas
pelaksanaannya”.[14]
Perhatian
yang diberikan oleh dunia, merupakan suatu tanda atau peringatan yang harus di perhatikan oleh negara-negara
yang menjadi anggota PBB, sebab terpenuhinya hak-hak anak untuk dapat
berkembang dapat menentukan nasib bangsa, sehingga dengan adanya ketetapan
tersebut setiap negara memperhatikan anak-anak bangsa yang berada di dalam
wilayah yuridiksi mereka.
Selanjutnya,
upaya pemerintah Indonesia dalam menanggapi lahirnya Konvensi Hak Anak
tersebut, akhirnya Indonesia meratifikasinya melalui keputusan Presiden Nomor
36 Tahun 1990, sehingga lahirlah sebuah peraturan perundang-undangan No 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002.
Lahirnya undang-undang ini memberikan harapan baru bagi anak-anak terlantar
yang ada di Indonesia, serta menjadi payung hukum dalam setiap perlindungan
anak di Indonesia.[15]
Adapun
kandungan hukum tentang Perlindungan Anak, tidak hanya hanya mengatur tentang
pencegahan dan perlindungan, akan tetapi juga mengatur sanksi dan denda setiap
pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perlindungan yang diberikan pemerintah
kepada anak-anak terlantar mengacu pada tiga kunci utama yang harus diperhatikan
dan menjadi acuan dalam pelaksanaannya, yaitu: (a) Pemenuhan Hak Anak; (b)
Perlindungan Anak,dan: Penghargaan pada Anak atau respect.[16]
Prinsip-prinsip
dasar hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, yakni agar seluruh anak di dunia memiliki
hak yang sama, meliputi: (a) Kepentingan terbaik bagi anak; (b) Hak tumbuh
berkembang dan kelangsungan hidup; (c) non diskriminasi; (d) hak partisipasi
dalam masyarakat.[17]
Oyo
Sunaryo mengungkapkan, salah satu bentuk penyimpangan dan pelanggaran hukum
mengenai privasi yang terjadi di masyarakat adalah masalah perkawian yang tidak
dicatatkan yang akhirnya berdampak pada perlindungan hak anak. Menurut Komisis
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kontruksi sosial dari perbuatan perkawinan
tidak dicatat dibedakan menjadi tiga bentuk, yakni: (a) perkawinanan yang tidak
dicatatkan (nikah sirri) yang bersifat eksploitatif “kawin kontrak” yang dalam
kasus tertentu terjadi antara warga negara asing dengan perempuan lokal; (2)
perkawinana yang tidak dicatatkan karena tidak memiliki akses terhadap
pelayanan publik, dan; (c) perkawinan yang tidak dicatatkan yang bertujuan
hanya sebagai pelampiasan hasrat seksual semata.[18]
Bentuk
perkawinan yang disebutkan oleh KPAI diatas sama-sama dipandang sebagai bentuk
penyimpangan dan pelanggaran hukum, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh
institusi yang kompeten, yani KUA atau KCS (bagi non muslim) akan berdampak
pada bagi kepentingan anak-anak, bahkan dapat mengancam bagi pemenuhan,
perlindungan dan penegakkan hak anak, diantaranya adalah perihal garis
keturunan (nasab), perwalian, dikucilkan dari pergaulan sosial dengan keluarga
kerabat, hak waris, pemeliharaan, biaya hidup (living cost), maupun yang
berkaitan dengan administrasi publik seperti: urusan akta kelahiran, KTP dan
pembuatan pasport. Berdasarkan implikasi yang ditimbulkan dari pernikahan yang
tidak dicatat tersebut, maka hal ini bisa jadi merupakan bentuk tindakan halus
menelantarkan anak.
Adapun
upaya hukum yang ditempuh untuk mengatasi permasalahan diatas, sebagai salah
satu contoh adalah lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi[19]
yang disebabkan kasus pernikahan yang tidak dicatat Machita Muhtar alias Aisyah
dengan Moerdiono yang berimplikasi hukum terhadap persoalan identitas dan
pengakuan anak yang lahir dari pernikahan mereka yang bernama Muhammad Iqbal
Ramadhan. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yaitu:[20]
Pertama, menolak permohonan uji materi Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dengn pertimbangan hukum, bahwa catatan
pernikahan penting untuk ketertiban. Pencatatan secara administratif yang
dilakukan oleh Negara dimaksudkan agar perkawinan sebagai perbuatan hukum
penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan.
Kedua, menerima uji materi pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dan menyatakan bahwa klausul:...”anak yang dilahirkandi luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” itu
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan alaki-laki yang dapat
dibukikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubuangn darah sebagai ayahnya, sehingga ayat
tersebut harus dibaca: “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46 Tahun 2010 menuai pro dan kontra, dan mengundang
perdebatan karena dapat memunculkan “prasa makna” yang beragam dan berimplikasi
pada berbagai hal. Pandangan yang bernada kontra antara lain dilontarkan Oyo
Sunaryo Muhlas. Menurutnya:[21]
“ jika dengan alasan untuk melindungi anak itu sampai harus
‘bongkar pasang’ pasal sensitif, yaitu pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, tampaknya terlalu mahal. Karenapasal ini sesungguhnya merupakan
pasal penguat atas pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang secara materiil memberikan forsi kemajemukan, sehingga bagi
orang-orang yang beragama Islam pernikahannya harus disesuaikan dengan norma
agama sebagaimana telah dirumuskan dalam
kitab fiqh. Begitu pula bagi warga negara non muslim harus disesuaikan
dengan norma agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian, rumusan
pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu tidak lagi memiliki
benang merah dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Padahal
substansi dan nilai-nilai yang terdapat pada pasal-pasal itu semestinya
sinergi, saling mengisi, saling menguatkan.”
Seandainya alasan dan pertimbangan utama lahirnya Putusan MK itu
demi melindungi anak (hifdz al_Nafs) suppaya mendapatkan kepastian hukum
mengenai hubungan keperdataan, bagi pelaku yang terlanjur kebablasan, dan
menghasilkan anak dalam kandungan, yang merupakan argumentasi andalan hakim MK,
yaitu dalam rangka melindungi anak, sebenarnya bisa terbantahkan, karena bagi
pelaku hubungan diluar perkawinan seperti perzinaan, perselingkuhan, samen
level (kumpul kebo) yang bertanggungjawab dan berniat baik, ada ruang untuk
memberi perlindungan bagi anak yang dikandung ibunya, yaitu: melalui pasal 53
ayat (1) KHI, yang membolehkan kawin hamil: “seorang wanita hamil di luar nikah
dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya”. Meskipun dari segi maqashd
tidak dimaksudkan untuk melegitimasi hubungan perkawinan yang tidak sah, tetapi
dengan mengakui hubungan biologis ayahnya, sekalipun secara ‘malu-mallu’, maka
mafhum mukholafahnya bisa dipahami ada celah untuk mengakui hubungan di luar
perkawinan yang sah. Dampaknya, akan memunculkan pula berbagai persoalan baru.
2.
Upaya Hukum Pemerintah Kota Bandung
Upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam menangani fenomena anak terlantar dapat
dibilang cukup memuaskan, walaupun belum semua permasalahan anak terlantar
masih belum terselesaikan sempurna, namun pemerintah masih optimis dalam
menangani hal tersebut, adapun upaya yang dilakukan oleh pemerintah, salah
satunya adalah sebagaimana yang telah di publikasikan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial[22]
adalah, telah dilaksanakan Program Kesehatan Bakti Pekerja Sosial Anak (PKSA)
yang melibatkan 20 rumah singgah dan 20 Satuan Bakti Pekerja Sosial, 70% anak-anak sudah terjangkau PKSA. Adapun
tujuan diadakannya Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) yakni untuk
mewujudkan hak dasar anak dan melindungi anak dari penelantaran, eksploitasi,
dan diskriminasi, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang, hidup layak, dan
berpartisipasi secara aktif. Adapun sasaran dari PKSA, meliputi:
1.
Anak
balita terlantar
2.
Anak
memerlukan perlindungan khusus
3.
Anak
denngan kecacatan
4.
Anak
yang berhadapan dengan hukum
5.
Anak
terlantar, termasuk juga anak jalanan.
Sejak
berdirinya PKSA pada tahun 2009, Direktorat Kesejahteraan Sosial Anak telah
menangani sebanyak 1.375 anak di jalanan di lima kota wilayah di Indonesia,
dari jumlah tersebut, sebanyak 990 anak (72%) sudah tidak turun ke jalan lagi,
dan sebanyak 385 anak (28%) masih rentan kembali ke jalan, adapun data sejak
tahun 2010 sampai 2012 jumlah target semakin meningkat dan lokasi pelayanan pun
semakin meluas[23].
Selain
membentuk program yang khusus menangani anak terlantar, Kemensos melalui PKSA
juga memberikan bantuan donasi pada acara One Day For Children, dengan total 4
miliar kepada anak jalanan dan orangtua asuh anak jalanan, bantuan itu
dialokasikan untuk Usaha Ekonomi Produktif (UEF) dan Kelompok Usaha Bersama
(KUBE) untuk 500 kepala keluarga atau orang tua dari anak jalanan. Kemudian
Mensos juga menyerahkan bantuan PKSA untuk 1.750 anak dengan nilai total lebih
dari 3 miliar dan pemberdayaan orangtua anak jalanan melalui KUBE untuk 50 KUBE
sebesar 1 miliar, serta kebutuhan dasar untuk 1.500 anak senilai 300 juta.[24]
Adapun
tahapan program PKSA adalah sebagai berikut:[25]
(1) Penyusunan Pedoman Operasional PKSA; (2) Sosialisasi Program; (3)
Peningkatan Kapasitas Pendamping dan Kelembagaan; (4) Bantuan Teknis; (5)
Pendampingan Sosial; (6) Bantuan Sosial; (6) Kegiatan Layanan Penguatann
Tanggungjawab Keluarga; (7) Penumbuhan Kesadaran Masyarakat; (8) Koordinasi,
Advokasi dan membangun jaringan kerja; (9) Supervisi, Monitoring dan Evaluasi
(10) Penataan Manajemen Pelayanan; (11) Advokasi, koordinasi dan sinergi
program dekonstrasi dan APBD (12) Pengorganisasian Program; (13) Penyaluran dan
Pengelolaan Bantuan Sosial; (13) Pendampingan Sosial.
Adapun
upaya yang dilakukan oleh masyarakat, yakni dengan mendirikan lembaga-lembaga
swadaya yang bergerak menghadapi kesejahteraan sosial bagi anak, salah satu
lembaga yang diciptakan adalah Yayasan Insan Abdi Bangsa Republik Indonesia
(IABRI) yang mempunyai program yang meliputi:[26]
1.
Pemberdayaan
Sosial Anak Jalanan meliputi:
a.
Memberkan
bimbingan dan atau pemenuhan akan kebutuhan fisik, mental,, spiritual, maupun
sosial secara wajar sesuai denngan kemampuan LSM, IABRI.
b.
Memberikan
layanan sosial pendidikan formal SD, SMP, Kejuruan (SMK Kalam Bangsa) secara
gratis total selama 3 tahun penuh. Dengan program keahlian Teknik Mesin, yang
diselenggarakan mulai dari sejak tahun 2003 hingga sekarang dengan angka
kelulusan yang mencapai selalu 100%, dalam mengikuti uji kompetensi dan ujian
nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat
c.
Memberikan
pelatihan keterampilan keahlian tertentu dan atau praktek belajar bekerja (PBK)
2.
Pemberdayaan
Sosial Orang Tua/ Keluarganya,meliputi:
a.
Memberikan
bimbingan sosial, mental dan spiritual
b.
Memberikan
bimbingan dan pelatihan keterampilan tata boga dan olah pangan.
c.
Memberikan
bimbingan dasar-dasar manajemen kewirausahaan berikut stimulant untuk praktek
belajar usaha ekonomi produktif (UEP) dan pendampingan usaha.
3.
Mengajak dan
melibatkan peran serta masyarakat dalam bentuk koordinasi dan
menyosiaslisasikan program layanan pendidikan gratis yang dikelola oleh LSM.
IABRI dalam rangka mencegah dan atauu menarik anak agar tidak melakukan
kegiatan ekonomi di jalan.
PENUTUP
Anak terlantar
di Kota Bandung mencapai 8.678 orang yang terbagi kedalam enam kategori. Faktor
yang menyebabkan mereka ditelantarkam adalah faktor keluarga, pendidikan,
sosial, politik, ekonomi, kelahiran diluar nikah, adanya pengaruh dari teman
untuk turun ke jalan, adanya dorongan untuk menambah uang jajan dan biaya
sekolah, dan paksaan orang tua agar mereka turun kejalan membantu kehidupan
keluarga mereka, dan juga pernikahan yang tidak dicatat menyebabkan
administrasi kenegaraan mereka terlantarkan. Sedangkan upaya yang dilakukan
untuk menanggulangi anak terlantar oleh pemerintah kota Bandung adalah
didirikannya Program Kesehatan Bakti Pekerja Sosial Anak (PKSA), dan memberikan
donasi kepada beberapa keluarga miskin di kota Bandung.
Orang tua
sebagai pelindung dan pembimbing orang tua harus selalu memberikan dan
memperhatikan hak anak-anaknya agar tidak menjadi anak yang ditelantarkan,
sebab anak merupakan generasi masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Bagong
Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana, 2010)
Iman
Sukadi, Tanggung Jawab Negara Terhadap Anak Terlantar dalam Operasionalisasi Pemerintah
di Bidang Perlindungan Hak Anak, Pasca Sarjana Hukum Universitas Brawijaya
Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2005
Kementerian
Sosial RI, Pola dan Mekanisme Pendataaan, tahun 2011
Keputusan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 15 A/HUK/2010 tentang Panduan Umum
Program Kesejahreaan Sosial Anak
Kurniawan
Ramsen, Definisi Anak Terlantar di Indonesia, (Bandung: Sekolah Tinggi
Kesejahteraan
MK
No. 46/PUU_VIII/2010 melalui uji materi (yudical review) atas Pasal 2 ayat (2)
dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Moch
Gilang, skripsi, (2010, Universitas Komunikasi), hal 44-45
Oyo Sunaryo
Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, (2015, PT Refika Aditama, Bandung).
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Web Site
http://bandung.bisnis.com/read/20140209/61818/490985/anak-jalanan-di-bandung-menjadi-yang-tertinggi, dikutip pada tanggal 31/03/2018. 17:43
http://republika.co.id/berita/koran/kabar-jabar/14/07/25/n99a4620-hari-anak-nasional-ribuan-anak-terlantar, dikutip pada, 31/03/2018, 17:54.
https://news.detik.com/jawabarat/1955973/setiap-tahun-ada-400-anak-jalanan-baru-di-
bandung. dikutip pada, 02/04/2018, 09:03
https://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1589, dikutip pada 31/03/2018, 18:44
Data PMKS Kota Bandung Tahun 2012, https://data.go.id/dataset/data-jumlah-penyandang-masalah-kesejahteraan-sosial/resource/2593be88-06f7-4dde-8f6a-79462655f04a
[1] Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
[2] Iman Sukadi, Tanggung
Jawab Negara Terhadap Anak Terlantar dalam Operasionalisasi Pemerintah di
Bidang Perlindungan Hak Anak, ( Pasca Sarjana Hukum Universitas Brawijaya)
hal 118
[3] ibid
[4] Bagong
Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 3
[5] Ibid,h 5
[6] Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Tahun 2005
[7] Kementerian
Sosial RI, Pola dan Mekanisme Pendataaan, tahun 2011
[8] http://bandung.bisnis.com/read/20140209/61818/490985/anak-jalanan-di-bandung-menjadi-yang-tertinggi, dikutip pada
tanggal 31/03/2018. 17:43
[9] http://republika.co.id/berita/koran/kabar-jabar/14/07/25/n99a4620-hari-anak-nasional-ribuan-anak-terlantar, dikutip pada,
31/03/2018, 17:54.
Lihat juga pada Data PMKS Kota
Bandung Tahun 2012, https://data.go.id/dataset/data-jumlah-penyandang-masalah-kesejahteraan-sosial/resource/2593be88-06f7-4dde-8f6a-79462655f04a
[10] Kurniawan
Ramsen, Definisi Anak Terlantar di Indonesia, (Bandung: Sekolah Tinggi
Kesejahteraan Sosial Bandung, 2003).
[11] Moch Gilang,
skripsi, (Universitas Komunikasi, 2010),
hal 44-45
[12] Oyo Sunaryo
Mukhlas, Pranata Sosial Hukum Islam, (Bandung, PT Refika Aditama, 2015). Hal,
165
[13]https://news.detik.com/jawabarat/1955973/setiap-tahun-ada-400-anak-jalanan-baru-di-
bandung. dikutip pada, 02/04/2018, 09:03
[14] Ibid, hal,
166.
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18] Ibid, hal, 168
[19] MK No.
46/PUU_VIII/2010 melalui uji materi (yudical review) atas Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[20] Oyo Sunaryo,
hal 169
[21] Ibid, hal
170-171
[22] https://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=1589, dikutip pada
31/03/2018, 18:44
[23] ibid
[24] ibid
[25] Keputusan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 15 A/HUK/2010 tentang Panduan Umum
Program Kesejahreaan Sosial Anak
[26] Moch Gilang,
hal 46
Komentar
Posting Komentar